[caption id="attachment_276638" align="aligncenter" width="300" caption="~worry~"][/caption] Kecelakaan Kereta Api yang juga bertepatan dengan hari Batik Nasional tanggal 2 Oktober ini memilukan serta membuatku sontak lemas. Mengapa bisa begitu? jawabannya adalah karena salah satu korban dari 35 korban meninggal adalah seorang kawan, kawan dekat Ayah. Seorang kawan yang hendak pulang ke Semarang dengan menggunakan kereta Senja Utama. Pada saat Kereta Argo Bromo Anggrek menabrak Kereta Senja Utama pukul 03.00 dini hari pastilah kawan ayah sedang istirahat melepas penat dari kota metropolitan yang beliau tinggalkan jauh dibelakang. Namun, semua telah ada jalannya masing-masing, ada alur ada garis yang telah terpatri seperti garis-garis di telapak tangan manusia. Maut tak dapat ditangkas atau pun ditawar dengan harga tinggi menjulang, kawan ayah telah pergi tak tergapai di jalur kereta api. Saat melihat "Breaking News" di berbagai media hari ini membuatku melayang berpikir, kelu dan penuh. Ayah dan Ibu sering menggunakan alat transpotasi Kereta Api Senja Utama dan bila hari ini Ayah yang pulang ke kampung bukan kawan ayah, aku sudah membayangkan rumah damaiku menjadi rumah duka. Kampung sepiku akan menjadi ramai berbondong manusia, tawa yang baru saja kulepas akan terenggut dengan butiran air yang keluar dari pelupuk mata merah. Melalui bayangan semu peristiwa "Senja Utama", Aku diingatkan segera menyelesaikan apa yang belum aku selesaikan sebelum sang dewa yang paling dibenci manusia datang, yaitu Dewa Penyesalan. Mengenang Kecelakaan Kereta Api di Pemalang dan Purwosari, Solo. Turut berduka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H