Mohon tunggu...
saeful anwar almaqtul
saeful anwar almaqtul Mohon Tunggu... nongkrong -

seseorang yang menghabiskan sisa hidupnya di kamar berukuran 3x3 meter. sering ditemani oleh caffein dan nikotin, dan setumpuk traktat bisu dan berdebu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mahasiswa dan Sepotong Catatan dari Silalat Socrates

16 Desember 2015   23:35 Diperbarui: 17 Desember 2015   00:05 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya barangkali sedikit lucu adalah semacam seekor lalat liar di atas tengkuk seekor kuda [Socrates]

MULANYA adalah gelisah, ujungnya hasrat untuk berkuasa. Pagi itu, secangkir kopi hitam akrab di bibir kita; sambil ngagosip Socrates. DPR yang sepi, tiba-tiba riuh oleh kegelisahan sekumpulan mahasiswa dalam pelbagai atribut, berarak-arak, berteriak-teriak di atas microfon-satu suara. Dengan rasa heran kita bertanya; inikah para mahasiswa revolusioner, siapakah mereka? Kenapa disebut sang pembaharu-sebuah tanya dalam arate pergerakan. Kenapa kampus ini? Rutinitas kuliah masih berjalan sebagaimana mestinya, setiap tahun ritual wisuda masih dirayakan. Kenapa?

Kampus UIN sedang sakit, katanya; "mahasiswa sejati-simbol pendobrak kezumudan" adalah ramuan yang ampuhmenjungkirbalikan keadaan. Apakah kesimpulan itu dilahirkan dari dialektika-kesadaran, atau sekedar memenuhi thelos sang pemimpin. Radikal adalah cara merobohkan hegemoni kuasa-will to power; jerembab me-manusia-kan manusia. Kita terlanjur menganut ritus moralitas absolut. Nietzsche; berteriak dalam kubur; "nihilistik, jalan menjadi manusia sejati-Ãœbermensch." Bahkan Sartre mengamini, "manusia mesti melepaskan segala ikatan-Tuhan, agama-mereka adalah neraka, jika ingin menjadi manusia utuh." Apakah mereka sadar; revolusi memerlukan teori, strategi, dan organisasi, dan menyusun kekuatan, itu semua memerlukan keringat dan kesabaran; ucap Gunawan Muhammad. Manusia Ada sekedar menyadari akan batas, bukan untuk melampaui batas; takdir selalu diotak-atik demi hasrat melampiaskan libido. "Haruskah mereka tidak menjadi dirinya sendiri?" lalu sampai kapan?

Jika Socrates masih hidup, maka akan tertawa terbahak, berceloteh; apa itu perubahan? Apa itu makna kesejatian? Manusia masa (dasmen), itulah mereka; selalu mengekalkan kenyamanan. Cemas bertaut dengan sepi, terpenjara oleh citraan static; beronani ala retorika shopis; kami tahu bagaimana merubah UIN. Socrates mengajarkan; gnoti seauthon; bagaimana menjadi diri sendiri; bukan menjadi yang lain. Menjadi mahasiswa sejati; adalah merumuskan kemeng-ada-an sebagai mahasiswa. Ingatkah, Socrates tak pernah berkerumun-mengikatkan diri pada serangkain himpunan. Ia berdiri sendiri-seperti lalat yang menggigit kuda yang lambat; semua belum selesai, banyak yang mesti dipetanyakan. "Saya tahu, bahwa saya tidak tahu apa-apa", gumam Socrates.

Kesetiaan pada kebenaran terkadang ironis; sebab ia tak mau berkompromi lewat seperangkat ritus kemapanan serta keserbatuntasan hidup. Sudikah mereka membuka diri dengan menguji setiap konklusi yang sudah ajeg dalam keyakinan. Sudahkah kita pertanyakan, kenapa kita berkerumun; berteriak? Padahal mereka dituntut menuntaskan status mahasiswa. Hasrat mengubah dunia hanya bergumpal di ulu otak. Socrates hadir demi menyadarkan kita. Tak ada sesuatupun dari Socrates yang bisa diharapkan, dia tidak bermaksud memberi apa-apa. Kita sendiri mesti membangun diri, menemukan kebenaran. Mempertanyakan adalah cara mengungkap kebenaran meski diasingkan atau harus meregang nyawa. Layakkah kita hidup, tanpa mempertanyakannya? Ada-kah kita tanpa berfikir?

Mungkin, kita tak pernah tuntas membaca para eksistensialis semisal: Kierkeegard, Sartre, Camus, atau Heidegger. apalagi  Hegel, Marx, melalui dialektika-nya. Kemudian lupa; tak pernah dituntut membaca-diri. Socrates mati demi mematwakan kebenaran. Jikalau Socrates mau berkompromi dengan putusan juri, mungkin dia tak sefenomenal sekarang. Tapi demi 'menyelamatkan jiwanya ' dan keengganan berhenti melakukan aktifitas filsafat. Namun, Socrates menentukan nasibnya sendiri dengan meminum racun cemara. Akhirnya mereka diajak melupakan tujuan muasal. Keberulangan mewujud; DPR kembali sepi. Kopi, tinggal ampas, lalu; kita dan mereka kembali pada kebanalan diri masing-masing.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun