Mohon tunggu...
D. Rifanto
D. Rifanto Mohon Tunggu... Konsultan - Membaca, menulis dan menggerakkan.

Tinggal di Sorong, Papua Barat. Mempunyai ketertarikan yang besar pada isu literasi dan sastra anak, anak muda serta pendidikan masyarakat. Dapat dihubungi melalui dayurifanto@gmail.com | IG @dayrifanto

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengenang Guruku Yance Rumbino

26 Juni 2024   15:26 Diperbarui: 11 Juli 2024   12:11 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pendidik multitalenta sekaligus seniman. Saya menyukai matematika saat di sekolah dasar karena Pak Guru Yance Rumbino. Ia begitu kreatif membuat kami senang pada mata pelajaran itu”

Saat itu banyak teman suka pada caranya mengajarkan matematika, termasuk saya. Pelajaran sulit, terasa mudah di tangannya. Seperti mantra Albert Einstein saja kalau dipikir “Kalau kamu tidak bisa menjelaskannya secara sederhana, maka kamu belum cukup memahaminya.”

Ketika beliau mengajar matematika, ia merangkap sebagai kepala sekolah SD Inpres Kotabaru Nabire. Sekolah saya dekat saja dengan kompleks saya tinggal, itu membuat tiap hari saya mesti berjalan kaki dari rumah, 10–15 menit saja. Senang rasanya tiap pagi bisa jalan kaki.

Dulu saat berjalan kaki, ada saja teman yang belum menggunakan sepatu karena tidak punya, atau sol sepatu menganga lebar. Tanda sepatu rusak yang dipakai terus menerus karena tiada ganti. Termasuk baju seragam yang bisa jadi satu-satunya dipakai tiap minggu.

Jika yang saya alami itu puluhan tahun lalu, sayangnya (sedihnya), ketika turun lapangan pada tahun 2022 lalu ke salah satu SD di Manokwari Selatan, hal itu masih mudah saya jumpai pada anak sekolah.

Ingatan mencair. Kenangan pada guruku hadir sebab seorang teman dari masa sekolah dasar mengirimkan pesan kepergianmu, pagi tadi. Ingatan mengalir menyambung kembali kenangan lalu. Bayangan selokan tempat perahu-perahu kertas kami labuhkan, suasana kelas, teman-teman, penjaga sekolah, juga guru-guru dan dirimu pak guru.

Memori berdesak-desakan di rumah guru yang engkau tempati. Saat istirahat membeli mangga, atau juga nasi kuning di kios sederhana depan rumah guru. Kami biasa duduk berhimpitan makan nasi kuning, sekaligus menonton tayangan “Casper and friends” pada stasiun televisi TPI persis di ruang tamu rumahmu yang bersahaja.

Kami tahu engkau menulis lagu dan menyanyikannya. Lalu mengajari kami menyanyikannya bersamamu. Rasanya semua teman-teman sekolah pasti mengingatnya. Lagumu itu “Irian Jaya” (sebelum berubah menjadi Tanah Papua) menjadi lagu andalan sekolah. Kerap dinyanyikan saat ada peristiwa penting termasuk perpisahan kelas 6. Walau begitu, ingatan padamu terlebih pada kejadian konyol yang saya buat.

Waktu itu saya terpilih masuk tim sekolah untuk lomba cerdas cermat. Malang nian, tim kami tampil pada urutan terakhir. Lomba berlangsung di sekolah, di mana lapangan tengahnya berumput. Ada banyak anak yang menonton lomba itu. Tapi tak semuanya senang mengikutinya secara utuh. Ada saja yang iseng bermain di lapangan, tak menonton cerdas cermat. Mereka bosan menonton lomba, saya akhirnya pun ikut bosan.

Kaki terasa gatal mau ikut bergerak, melihat anak-anak bermain bola. Itu sebabnya begitu melihat anak-anak sebaya bermain di tengah lapangan, iman ini menjadi goyah. Kaki pun ikut bergoyang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun