Mendung di Mata Niko
Oleh: Dayu Rifanto
Â
Â
"Argghhh! Aduh mama e!"
Â
Niko jatuh dari pohon dan semua orang segera mengerubunginya.
Siang itu panas bercampur tangisan pecah di salah satu pulau kosong tak berpenghuni di gugusan kepulauan Raja Ampat.
Teriakan Niko membelah udara dan menghadirkan kegelisahan. Ia baru saja terjatuh dari pohon kelapa, dan tangannya menjadi sangat aneh, bisa jadi tangan itu patah.Â
Saat itu Niko bersama  teman sekolahnya kebetulan sedang pergi ke Waisai, ibukota kabupaten di Raja Ampat. Entah ide dari siapa, mereka malah singgah sebentar ke pulau kosong mencari kelapa.
"Boh, haus nih, trada air" suara salah seorang anak dalam perahu.
"Kitong panjat kelapa dulu" begitu yang lain menimpalinya
Ada banyak pulau kosong tak berpenghuni di gugusan kepulauan Raja Ampat. Terkadang masyarakat dalam perjalanan antarpulau , mampir sekedar singgah makan siang atau jika ada pepohonan yang sedang berbuah, datang untuk memetiknya.Â
Tetapi kali ini berbeda, rombongan Niko hanya ingin singgah dan bermain sebentar di sana, sebelum melanjutkan perjalanan mereka membeli keperluan bulanan di Waisai.
"Kitong harus bagaimana ini?" ucap Mira pada Jhon.
Ko so tahu to, trada puskesmas dekat sini?" ucap John pelan, seolah mau meyakinkan dirinya kembali, hal ini tidak nyata.
Mira yang menghampirinya tak kuasa menahan tangis. Niko terus mengerang kesakitan, awan pun ikut kelabu, siang itu.
John bukan orang Raja Ampat, juga bukan dari daerah lain di Indonesia. Dia adalah orang asing berkebangsaan Amerika yang kebetulan jatuh cinta pada Raja Ampat. Semenjak perjumpaan tak sengaja pada Mangewang, Mamta  dan Teteruga dalam perjalanannya ke salah satu pulau di Raja Ampat, hatinya tertambat sudah. Mira sendiri orang Jawa tetapi lahir besar di Aimas, ibu kota Kabupaten Sorong, tetapi ide hidup di pulau dan menua di sana terus mengganggunya, hingga ia temukan sebuah tempat yang menjadi surganya di Pulau Sawinai.
Mulanya Niko bersama beberapa kawan bermain di bawah pepohonan, tetapi entah mengapa mereka memutuskan memanjat. Sungguh malang tak bisa diduga kapan datangnya, saat Niko bermain-main di atas sebatang pohon, kakinya salah menginjak ranting. Ranting itu patah dan Niko pun terjatuh persis di depan tempat Jhon, pimpinan perjalanan itu, berdiri.
*
Gugusan kepulauan Raja Ampat memang sungguh memesona. Tiap tahun, daerah wisata ini mampu menarik ribuan orang dari tujuh benua di dunia.
Pada Sabtu pagi  yang cerah, di bibir pantai Sawinai, salah satu dari gugusan pulau di Raja Ampat, ada seorang anak sedang memanggil kedua temannya yang sedang bermain di pinggiran pantai.
 "Edo, Daniel kam dua kemari dulu!" teriak Niko memanggil kedua temannya dari kejauhan.
"Woi, kenapa?!" teriak Daniel.
"Mo bikin apa sampe ko panggil kitong dua nih?" sambung Edo.
"Jangan lupa kas tahu teman -- teman semua e, nanti sore ada pertemuan di sekolah e" kata Niko
Ternyata akan ada pembukaan ruang baca di sekolah komunitas, begitu kata Kaka Jhon dan Mira pada Niko. Malam nanti, tepat pukul tujuh, akan ada doa dan makan bersama untuk merayakan dibukanya ruang baca di tempat belajar mereka itu.
Siang hari belum berlalu, Niko yang sedang bermain di halaman depan sekolah rumah komunitas, melihat di kejauhan ujung dermaga kecil, tampak beberapa orang menaikkan barang-barang bawaan. Termasuk cold storage, tempat untuk ikan -- ikan tangkapan.
"Niko, nanti bantu membersihkan ikan e" pinta kaka Jhon pada Niko.
Niko memanggil kawan-kawannya yang lain, tapi satu dua orang mendekat, melihat dan mundur diri pergi main. Ah dasar, biar sudah saya yang bantu-bantu bersihkan ikan, kata Niko pada dirinya sendiri. Ia dikenal cekatan, dan sangat aktif. Tentu saja, selain itu makannya banyak sekali. Mengkompensasi keaktifannya.
Sekolah rumah komunitas menjadi impian besar Jhon, Â yang melihat mengapa banyak orang dan tamu asing datang ke Raja Ampat, tetapi belum banyak anak-anak dan orang lokal bisa berbahasa Inggris. Ia berpikir, kalau bikin tempat belajar langsung di kampung, ia bisa membantu anak-anak ini menjadi tuan di rumah mereka sendiri, dan sekaligus bisa menjaga alamnya yang indah. Â Jhon merasa kepedulian lingkungan bisa dilakukan dengan bangun kesadaran lewat tempat belajar informal.
Begitu juga impian Mira, yang akhirnya berlabuh menjadi guru juga di pulau ini. Â Bayangkan saja, tidak ada SMP dan SMA di pulau ini. Anak-anak kampung di pulau, mesti tinggal di rumah kontrakan di ibukota kabupaten untuk meneruskan sekolah mereka. Masih beruntung yang memiliki kerabat di sana, jika tidak maka cari jalan sendiri.
"Anak-anak, yang bikin saya akhirnya betah. Sa jatuh cinta dengan dorang, begitu bertemu mereka" ungkap Mira suatu hari pada Jhon, ketika ia baru mulai tinggal di pulau tersebut, serta alasan mengapa mau di sana.
Di pulau -- pulau ini, tak mudah menemukan wajah pendidikan melalui guru, dan kesehatan melalui dokter, suster dan mantri, mereka terasa asing. Itu yang menyebabkan, bagi orang baru, tidak mudah tinggal di kampung di sebuah pulau. Buat Mira dan Jhon, hal itu bukan masalah besar, dan keduanya betah menetap di sana.
Walau pernah suatu ketika, Jhon mengalami kecelakaan kecil. Kelingking kirinya putus, karena saat di laut ia salah menginjak insurdam. Ia panas tinggi, dan saat itu mereka belum punya speedboat, sehingga tak bisa cepat dilarikan ke luar pulau.
Untuk penanganan awal, ia berobat pada tete tua yang merapal doa dan mencari tumbuhan obat, untuk mengobati lukanya itu. Ternyata itu membuat ia bisa bertahan, walau jika tak cepat diantar dan dirawat di sebuah rumah sakit di Sorong. Ia nyaris kehilangan jarinya yang lain.
Seperti itulah kecintaan Jhon dan juga Mira, pada orang-orang yang tinggal di pulau ini. Tentu saja, bukan perkara mudah menetap dan jatuh hati tinggal bertahun-tahun di pulau dengan akses terbatas.
*
"Kita harus segera beritahu orang tua Niko" begitu teriak Jhon pada Mira. Segera mereka memacu speedboat mereka untuk segera pulang ke kampung Sawinai.
Orang-orang bersegera berkumpul di dermaga kecil itu, karena mendengar keriuhan suara Niko.
"Bapa, kitong harus segera bawa ke rumah sakit?"
"Ya tapi itu berarti di Sorong, dan harus tempuh 3-4 jam perjalanan?"
"Bapak, kami rasa harus tanggung jawab, nanti semua biaya yang keluar di rumah sakit, biar kami yang tanggung" begitu jelas Jhon pada Niko punya bapak.
Orang-orang semakin banyak berdatangan, dan riuh bergumam. Niko tak berhenti menangis. Angin mulai bertiup kencang, serasa ikut bersedih.
Orang-orang tua berembuk, Niko ternyata tak diijinkan ikut ke rumah sakit, walau Jhon dan Mira serta pihak sekolah bersedia membayar semua biaya yang keluar. Jhon seolah tak percaya.
Niko akan mereka urut secara tradisional, dan diobati oleh seorang tukang urut dari kampung. Dong percaya, bahwa tak begitu saja Niko jatuh, ada sebuah kekuatan yang tak bisa dimengerti yang membuat hal itu terjadi. Jhon merasa begitu susah memahaminya.
Ia pun segera ingat pengalaman dirinya dulu, yang nyaris saja jari kaki lainnya akan putus, seandainya tak segera dilarikan ke rumah sakit. Setelah mendapat pengobatan tradisional. Untuk itu, Jhon begitu bersyukur karena pengobatan tradisional pernah membantunya, seraya dilengkapi dengan penanganan medis yang tepat.
Bayangan tangan Niko diurut dan tak kembali dengan bentuknya semula, menganggu betul pikiran Jhon, juga Mira. Tapi mereka perlahan mulai memahami, ketika tiada fasilitas kesehatan terdekat yang bisa diandalkan dan berhadapan dengan begitu sedikitnya pilihan.
Sore itu kemuraman seolah menggantung di atas senja. Ternyata ada banyak hal yang belum diketahui oleh Jhon dan Mira, pada daerah tempat dorang tinggal.
Dong dua merasa begitu banyak pertanyaan belum terjawab.
Tapi saat akan meninggalkan Niko, Mira dan Jhon melihatnya sedang tersenyum kecil tetapi dengan sorot mata yang begitu tajam, melihat balik.
Apa yang membuat Niko tersenyum begitu aneh? Â Tanya Mira dan Jhon yang tak terjawab.
Kilatan cahaya petir disambung suara menggelegar guntur pun hadir.
Disertai hujan begitu deras yang tiba-tiba saja turun, sore itu.
Sorong, 17 November 2021
Dayu Rifanto
**
Istilah :
Mangewang : Hiu Karpet
Mamta : Ikan Pari
Teteruga : Penyu Laut
Insurdam : Lionfish
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI