Orang-orang semakin banyak berdatangan, dan riuh bergumam. Niko tak berhenti menangis. Angin mulai bertiup kencang, serasa ikut bersedih.
Orang-orang tua berembuk, Niko ternyata tak diijinkan ikut ke rumah sakit, walau Jhon dan Mira serta pihak sekolah bersedia membayar semua biaya yang keluar. Jhon seolah tak percaya.
Niko akan mereka urut secara tradisional, dan diobati oleh seorang tukang urut dari kampung. Dong percaya, bahwa tak begitu saja Niko jatuh, ada sebuah kekuatan yang tak bisa dimengerti yang membuat hal itu terjadi. Jhon merasa begitu susah memahaminya.
Ia pun segera ingat pengalaman dirinya dulu, yang nyaris saja jari kaki lainnya akan putus, seandainya tak segera dilarikan ke rumah sakit. Setelah mendapat pengobatan tradisional. Untuk itu, Jhon begitu bersyukur karena pengobatan tradisional pernah membantunya, seraya dilengkapi dengan penanganan medis yang tepat.
Bayangan tangan Niko diurut dan tak kembali dengan bentuknya semula, menganggu betul pikiran Jhon, juga Mira. Tapi mereka perlahan mulai memahami, ketika tiada fasilitas kesehatan terdekat yang bisa diandalkan dan berhadapan dengan begitu sedikitnya pilihan.
Sore itu kemuraman seolah menggantung di atas senja. Ternyata ada banyak hal yang belum diketahui oleh Jhon dan Mira, pada daerah tempat dorang tinggal.
Dong dua merasa begitu banyak pertanyaan belum terjawab.
Tapi saat akan meninggalkan Niko, Mira dan Jhon melihatnya sedang tersenyum kecil tetapi dengan sorot mata yang begitu tajam, melihat balik.
Apa yang membuat Niko tersenyum begitu aneh? Â Tanya Mira dan Jhon yang tak terjawab.
Kilatan cahaya petir disambung suara menggelegar guntur pun hadir.
Disertai hujan begitu deras yang tiba-tiba saja turun, sore itu.