Mohon tunggu...
D. Rifanto
D. Rifanto Mohon Tunggu... Konsultan - Membaca, menulis dan menggerakkan.

Tinggal di Sorong, Papua Barat. Mempunyai ketertarikan yang besar pada isu literasi dan sastra anak, anak muda serta pendidikan masyarakat. Dapat dihubungi melalui dayurifanto@gmail.com | IG @dayrifanto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mendung di Mata Niko

20 November 2021   06:11 Diperbarui: 20 November 2021   06:52 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Sabtu pagi  yang cerah, di bibir pantai Sawinai, salah satu dari gugusan pulau di Raja Ampat, ada seorang anak sedang memanggil kedua temannya yang sedang bermain di pinggiran pantai.

 "Edo, Daniel kam dua kemari dulu!" teriak Niko memanggil kedua temannya dari kejauhan.

"Woi, kenapa?!" teriak Daniel.

"Mo bikin apa sampe ko panggil kitong dua nih?" sambung Edo.

"Jangan lupa kas tahu teman -- teman semua e, nanti sore ada pertemuan di sekolah e" kata Niko

Ternyata akan ada pembukaan ruang baca di sekolah komunitas, begitu kata Kaka Jhon dan Mira pada Niko. Malam nanti, tepat pukul tujuh, akan ada doa dan makan bersama untuk merayakan dibukanya ruang baca di tempat belajar mereka itu.

Siang hari belum berlalu, Niko yang sedang bermain di halaman depan sekolah rumah komunitas, melihat di kejauhan ujung dermaga kecil, tampak beberapa orang menaikkan barang-barang bawaan. Termasuk cold storage, tempat untuk ikan -- ikan tangkapan.

"Niko, nanti bantu membersihkan ikan e" pinta kaka Jhon pada Niko.

Niko memanggil kawan-kawannya yang lain, tapi satu dua orang mendekat, melihat dan mundur diri pergi main. Ah dasar, biar sudah saya yang bantu-bantu bersihkan ikan, kata Niko pada dirinya sendiri. Ia dikenal cekatan, dan sangat aktif. Tentu saja, selain itu makannya banyak sekali. Mengkompensasi keaktifannya.

Sekolah rumah komunitas menjadi impian besar Jhon,  yang melihat mengapa banyak orang dan tamu asing datang ke Raja Ampat, tetapi belum banyak anak-anak dan orang lokal bisa berbahasa Inggris. Ia berpikir, kalau bikin tempat belajar langsung di kampung, ia bisa membantu anak-anak ini menjadi tuan di rumah mereka sendiri, dan sekaligus bisa menjaga alamnya yang indah.  Jhon merasa kepedulian lingkungan bisa dilakukan dengan bangun kesadaran lewat tempat belajar informal.

Begitu juga impian Mira, yang akhirnya berlabuh menjadi guru juga di pulau ini.  Bayangkan saja, tidak ada SMP dan SMA di pulau ini. Anak-anak kampung di pulau, mesti tinggal di rumah kontrakan di ibukota kabupaten untuk meneruskan sekolah mereka. Masih beruntung yang memiliki kerabat di sana, jika tidak maka cari jalan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun