Pelajaran menulis mengalami peningkatan, saat dirinya berkuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Satya Wacana (UKSW) di Salatiga, Jawa Tengah, tahun 1970-an. Menulis dalam bahasa Inggris mencakup penulisan komposisi, esai, makalah ilmiah, dan skripsi. Majalah Morning Star terbitan mahasiswa bahasa dan sastra Inggris UKSW menjadi salah satu sarana menulis baginya.Â
Sesudah menguasai seluk-beluk penulisan esai dan makalah ilmiah, ia pun menerbitkan tiga esai dalam Basis, sebuah majalah kebudayaan terbitan Yogyakarta yang dinahkodai Romo Dick Hartoko, dan beberapa majalah bulanan terbitan Jakarta.
Sementara mengerjakan skripsi, bersama seorang teman kuliah, Johanes Lamarto, ia dikirim UKSW mengikuti suatu lokakarya penulisan cerita pendek untuk anak-anak selama enam hari di BPK Gunung Mulia, Jakarta, tahun 1977. Seorang profesor ahli komunikasi dari Universitas Kota New York, AS menjadi pengajarnya.
"Yanes, Penakut yang Menjadi Pemberani" menjadi buah karyanya, hasil dari lokakarya tersebut. Naskah ini diterbitkan BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1978. Kemudian, hak cipta cerita pendek itu dipegang Departemen PDK Nasional di Jakarta, dicetak ulang sebanyak 500 ribu eksemplar. Masuk dalam penerbitan suatu proyek Instruksi Presiden (Inpres) dan disebarkan ke berbagai sekolah dasar di Indonesia.
Mengetahui tentang buku tersebut, membuat saya selalu menyimpan keinginan untuk mencarinya. Mungkin juga karena bayangan perpustakaan sekolah saya dulu, yaitu SD Inpres Kotabaru Nabire yang saat itu memiliki kepala sekolah yang bernama Yance Rumbino, pencipta lagu Tanah Papua. Ingatan menyelesaikan istirahat makan siang di perpustakaan kecil yang terletak di pojok belakang sekolah, yang dipenuhi dua rak buku -- buku terbitan Balai Pustaka kerap datang kembali dan membawa rasa bahagia.
Bulan lalu, tak sengaja saya menemukan buku ini dijual melalui sebuah toko buku daring, rasanya bagai pucuk dicinta, ulam pun tiba. Yanes, dalam cerita ini adalah seorang anak yang tinggal di kampung Yende. Teman-teman sebayanya sudah terbiasa bermain dan berburu di hutan, serta tidur sendirian dalam gelap. Tetapi Yanes belum bisa, walau sudah mencoba berkali-kali untuk tidak takut. Ia sering diejek dengan panggilan "penakut."Â
Tentu saja, sebutan itu membuatnya tak nyaman. Ia mencari jalan untuk membuktikan sebaliknya. Pada sebuah malam ia bermimpi bertemu "manwen" atau "suanggi" yang membuatnya tak bisa tidur. Pada sebuah bagian, sebelum Yanes memutuskan "molo" untuk melepaskan kail ayahnya yang dimakan ikan Terusi, begitu indah rasanya penulis mengisahkan pemandangan alam yang Yanes hadapi.."Matahari mulai condong ke kaki langit.
Angin barat daya cukup dirasa menusuk tubuh dan mendesirkan daun-daun pepohonan yang membungkuk-bungkuk seperti nenek-nenek tua di kampung. Gelombang-gelombang membahasi kaki-kaki mereka dekat tepi jurang. Kemudian terhempas sejauh kira-kira dua meter ke bawah dengan mendesis, berangsur-angsur ke laut dan bercampur dengan gelombang yang saling berkejaran di dinding batu."
Pilihan menyelam dan melepaskan kail itu memicu kejadian ikutan, sebuah adegan bawah laut yang mendebarkan, dan tak disangka -sangka, baik oleh Yanes, maupun ayahnya serta seorang teman bernama Piet, yang ikut serta pada perahu mereka sore itu. Kejadian mendebarkan itu pula yang akhirnya menjadi sebuah cerita umum di kampung Yanes, dan mengubah sudut pandang semua orang pada Yanes. Ia dikenal sebagai si penakut yang menjadi pemberani.
Pada malam ketika kejadian itu telah berlalu, sang ayah meminta pendapat Yanes, apakah Yanes bersedia untuk menjaga kamar orang tuanya. Yanes merasa, baru kali ini ayahnya meminta pendapatnya. Mungkinkah karena peristiwa di laut tersebut? Entahlah.
Apa yang membuat saya menyukai buku tipis ini, itu karena kita juga dibawa berkenalan dengan karya dari seorang misionaris legendaris di Papua, bernama IS Kijne. C. Akwan, dalam teks cerita." Ayah Yanes dengan sabar, mengingatkannya dengan "Kau ingat akan kata-kata yang dicetak miring dalam Kawan-Kawan Kita?" tanya ayahnya. "Tentang Maria kecil yang takut saat mencari ikan dan takut gelap juga?" (Hal 55) -- seperti yang kita tahu, "Kawan-kawan Kita" adalah salah satu cerita anak yang ditulis oleh IS Kijne, selain cerita "Kota Emas : Kisah Tom dan Regi" juga yang lainnya adalah "Surat vor Wasja" yang menggunakan bahasa Biak.