Dua Anak Cemerlang dari Nayakore.
"Ibu kalo sa menulis, jadi penulis terkenal kah ? Orang-orang akan kenal saya kah? Kenal saya punya kampung? Diundang masuk televisi kah?"
Sore itu, kemuraman bagai menggantung di langit-langit kota, berita duka datang begitu saja melalui pesan pada ponsel saya, pada akhir 2020 lalu.
"Apsalom pernah mengeluh tentang sakit di lehernya yang bisa bikin dia lemas, sejak tahun lalu dia sudah mengeluh sakit" jelas Ruth, sahabat saya seorang guru, yang menceritakan bahwa salah satu penulis dari buku yang diterbitkan penerbit secara digital itu telah tiada. Saya pun ikut merasa terpukul.
"Apsalom sudah tidak ada, dia sudah berpulang duluan"
Menjenguk kembali ingatan di tahun 2019, ketika Ruth bercerita pada saya, betapa cemerlangnya dua siswanya yang bernama Alpius dan Apsalom, di sekolah tempat ia mengajar, Negeri Besar, Kokoda, Sorong Selatan.
"Anak-anak ini suka dengan hal-hal baru dan punya rasa ingin tahu yang tinggi, sangat bersemangat. Mereka suka membaca buku ensiklopedia, dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat kami, para guru, kewalahan menjawabnya" begitu penjelasan Ruth pada saya, membanggakan kedua anak muridnya itu.
Sebagai gambaran awal tentang Kokoda, kata Kokoda memiliki arti yang berasal dari bahasa Yamueti, yakni air yang berwarna hitam yang di sekelilingnya terdapat tanaman sagu yang mengitari kawasan air tersebut.
Berdasar pengamatan yang dilakukan oleh Ismail Suardi Wekke dan Yuliana Ratna Sari dalam penelitian mereka berjudul "Tifa Syawat dan Entitas Dakwah Dalam Budaya Islam: Studi Suku Kokoda Sorong, Papua Barat" menyebutkan bahwa suku Kokoda menetap di Kota Sorong, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat.Â
Dan dari pengamatan dan wawancara mereka di tiga daerah tersebut, jumlah komunitas Kokoda tidak mencapai 5000 jiwa dari kelompok -kelompok kecil di tiga kabupaten tersebut.
Jadi, Anda bisa bayangkan? Ada dua anak dari suku ini yang menulis buku bacaan anak, yang mungkin tiada yang tahu bahwa mereka menulis, dan sedihnya lagi. Yang satu telah tiada. Rasa bangga, tentu saja, tetapi sekaligus mengharukan. Hati ini terasa bergetar ketika mengingat kisah ini kembali.Â