Mohon tunggu...
D. Rifanto
D. Rifanto Mohon Tunggu... Konsultan - Membaca, menulis dan menggerakkan.

Tinggal di Sorong, Papua Barat. Mempunyai ketertarikan yang besar pada isu literasi dan sastra anak, anak muda serta pendidikan masyarakat. Dapat dihubungi melalui dayurifanto@gmail.com | IG @dayrifanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kemampuan Membaca, Efek Matthew dan Kisah Dolfince dari Sorong

7 Juni 2021   06:27 Diperbarui: 7 Juni 2021   07:03 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indeks Alibaca Provinsi dari Tinggi ke Rendah (Indeks Aktivitas Literasi Membaca - Kemdikbud)


"Pelajar di daerah pinggiran Kabupaten Jayawijaya, Papua, baru bisa membaca setelah berada di kelas IV sekolah dasar (SD). Kondisi ini berbeda dengan siswa siswi yang berada di Kota Wamena" begitu petikan berita pendidikan yang saya baca pada media online, dan rupanya memancing salah seorang senior mengomentari postingan tersebut dengan tanggapan bahwa ini menjadi salah satu masalah awal, berdampak pada rendahnya daya saing yang kemudian memicu kecemburuan sosial. Berita itu membuat saya membayangkan banyak hal ikutan lainnya yang pada mulanya disebabkan oleh tidak lancar membaca, serta tak tumbuhnya budaya membaca.

Membaca (dan menulis) segera mengingatkan saya pada literasi. Literasi, secara sempit dapat dimaknai sebagai kemampuan membaca dan menulis, UNESCO sendiri merumuskan definisinya menjadi seperangkat keterampilan nyata, terutama ketrampilan dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks yang mana ketrampilan itu diperoleh serta siapa yang memperolehnya. Tetapi dalam perkembangannya, mengalami perluasan makna untuk menjawab tantangan yang dihadapi. Dalam sebuah seminar daring, saya mengutip pendapdat Prof. E. Aminudin Aziz tentang literasi,di mana literasi ia definisikan sebagai kemampuan untuk memahami teks dan nonteks dan menerapkannya dalam komunikasi yang efektif dan kritis. Dalam arti sempit sebagai kegiatan membaca saja, di Papua kita akan menemukan persoalan seperti dalam berita, apalagi jika mengamini pengertian literasi yang luas, jangan -- jangan problemantikanya semakin pelik.

Kemampuan Membaca dan Efek Matthew.

Pada tahun 2019, Jesica Logan, Ph.D et al, dalam Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics, mempublikasikan penelitian dengan judul : When Children Not Read At Home = The Million Word Gap, atau Ketika Anak di Rumah Tak Membaca = Kesenjangan Jutaan Kata. Penelitian tersebut mengkonfirmasi betapa pentingnya anak memiliki kebiasaan membaca buku di rumah, dan keluarga memainkan peranan amat penting untuk mendukung keberhasilan itu.

Penelitian Logan ingin melihat apa dampak dari kesenjangan "penguasaan kosa kata" dari anak yang tak memiliki akses terhadap buku bacaan, dan mereka yang memiliki akses, dalam lima tahun pertama usia anak. Hasilnya adalah anak yang terbiasa dibacakan buku bacaan bergambar oleh orang tuanya setiap hari (dan nantinya kemudian membaca buku), dalam setahun kurang lebih anak akan terpapar pada 78.000 kosa kata. Secara kumulatif, jika ditotal dalam usia lima tahun pertama, maka kurang lebih anak akan mendengarkan 1.4 juta lebih kosa kata dibandingkan mereka yang tak dibacakan buku (dan kemudian membaca buku). Kebiasaan mendengar begitu banyaknya kosa kata melalui perantaraan cerita (dalam buku) menjadi fondasi penting bagi anak, dalam menghadapi dunia persekolahan.

Tidak hanya itu, fenomena anak -- anak yang lamban dalam membaca dan memahami bacaan di kelas awal, rentan mengalami kegagalan dalam kelas -- kelas selanjutnya, Lukman Solihin dalam laporannya berjudul "Darurat Literasi di Ruang Kelas" menyatakan bahwa rendahnya kecakapan membaca di kelas awal ibarat kondisi tengkes (stunting) dalam dunia kesehatan. Pada anak dengan kondisi tengkes, periode emas perkembangan otaknya terhambat karena kurangnya asupan nutrisi. Akibatnya, kapasitas intelektual anak tidak berkembang optimal. Begitu pula dengan lemahnya literasi membaca dapat mempengaruhi terhadap keberhasilan anak dalam mengarungi dunia pendidikan. Atau dengan kata lain, siswa yang kesulitan membaca akan menemui banyak permasalahan dalam belajar.

Efek Matthew (Stanovich, 1996), menjelaskan bahwa dampak bagi siswa yang tidak bisa membaca dengan baik di kelas awal akan kehilangan motivasi, hanya mampu menyerap sedikit informasi, serta tidak mampu memahami informasi yang kompleks. Dan kelambanan dalam hal membaca ini akan membuat anak -- anak rentan mengalami kegagalan pada kelas-kelas selanjutnya.

Melihat Indeks Literasi di Papua dan Papua Barat.

Indeks Alibaca Provinsi dari Tinggi ke Rendah (Indeks Aktivitas Literasi Membaca - Kemdikbud)
Indeks Alibaca Provinsi dari Tinggi ke Rendah (Indeks Aktivitas Literasi Membaca - Kemdikbud)
Indeks aktivitas literasi membaca 34 provinsi di Indonesia melihat persoalan literasi menggunakan empat dimensi, di mana dimensi tersebut adalah akses, kecakapan, budaya dan alternatif.

Secara keseluruhan, Papua dan Papua Barat menempati dua peringkat terbawah dalam survei yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Kemdikbud, pada tahun 2019 lalu. Dan hal ini menjadi catatan penting dalam survei, di mana disebutkan bahwa "Pemerintah dan pemerintah daerah perlu memberikan perhatian khusus kepada daerah/provinsi yang memiliki tingkat indeks literasi membaca yang rendah, terutama provinsi Papua dan Papua Barat serta Kalimantan Barat".

Jika dibedah lebih dalam, laporan ini menyatakan bahwa sekali lagi, dimensi dengan nilai paling rendah adalah dimensi akses, yang berarti ada dua subdimensi yaitu akses di sekolah, dan akses di masyarakat. Terkait sekolah Akses di sekolah masuk kategori sangat rendah yang ditunjukkan oleh minimnya angka perpustakaan sekolah dalam kondisi baik dan belum memadainya jumlah petugas pengelola perpustakaan sekolah. Sedangkan akses di masyarakat terdiri dari keberadaan perpustakaan umum, perpustakaan komunitas, serta rumah tangga yang membeli surat kabar dan majalah.

Temuan ini juga menyebutkan adanya kontribusi dari masyarakat sendiri berupa pendirian dan pengelolaan taman bacaan maupun perpustakaan bergerak, bisa ikut membantu menyediakan akses, walau jumlahnya masih jauh dari cukup. Mengambil contoh Kota Sorong, maka bisa kita temukan komunitas -- komunitas literasi, misalnya dua komunitas yang besar, misalnya ada Forum Literasi Sorong Raya dan Forum TBM Sorong, di mana keduanya berisi komunitas -- komunitas literasi baik yang membuat ruang baca dan mengelolanya, maupun membuat kelompok -- kelompok belajar, dan ini cara masyarakat merespon keadaan.

Kisah Dolfince dan Keinginan Meminjam Buku

Dolfince dan buku yang ia pinjam. (Dokpri)
Dolfince dan buku yang ia pinjam. (Dokpri)
Saya begitu takjub, ketika mendengarkan pemaparan Prof. E. Aminudin Azis, ia sedang menceritakan tentang bagaimana praktik literasi di masyarakat di Inggris sana, di mana saat itu ia sedang bertugas sebagai atase pendidikan dan kebudayaan di KBRI London.

Bayangkan saja, praktik literasi di masyarakat itu menjadi tanggung jawab council atau pemerintah kota/kecamatan. Juga disediakan pusat -- pusat pendidikan di lingkungan (di Indonesia seperti PKBM misalnya), adanya promosi -- promosi ke setiap rumah, di koran lokal, media -- media sosial milik pemerintah setempat. Banyaknya perpustakaan umum yang tersebar dan bisa diakses gratis. Bahkan, kecakapan literasi menjadi prasyarat untuk setiap jenis pekerjaan.

Di Indonesia, perlu juga kita melihat Yogyakarta yang menurut studi kualitatif RISE, masyarakat Yogyakarta dianggap memiliki minat baca tinggi, dan ini terjadi karena dukungan kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah daerah.

Sebagai contoh, untuk menjangkau secara aktif masyarakat maka dinas perpustakaan daerah membuat program dan layanan keliling melalui mobil perpustakaan keliling, maupun perpustakaan motor roda tiga. Kedua armada ini mengunjungi perkampungan, ruang publik, maupun sekolah -- sekolah yang tak memiliki bahan bacaan memadai. Tidak hanya itu, di hari libur bahkan dorang menyapa masyarakat dengan membuka layanan pada saat hari bebas kendaraan bermotor yang biasa jatuh pada hari Sabtu dan Minggu.

Luar biasa, batin saya dalam hati ketika harus melihat dua contoh dari level negara dan satu lagi dari contoh sebuah daerah di Indonesia lalu membandingkannya dengan yang terjadi pada tempat di mana saya tinggal sekarang. Belum sempat melanjutkan tulisan ini kembali, saya mendapat sebuah pesan di facebook, dari salah seorang siswi yang tinggal di SP-3 daerah Kabupaten Sorong, ia sedang menanyakan di mana persisnya rumah saya, yang kebetulan ada layanan pinjam buku bacaan anak gratis, bernama @PinjamPustaka dan berlokasi di Kota Sorong, beda wilayah administratif walau bertetangga saja letaknya.

Saya tahu, anak muda ini akan menempuh perjalanan 30-40an menit menggunakan angkot, bahkan lebih, untuk sampai di perpustakaan independen yang saya kelola dan itu dia lakukan untuk meminjam buku bacaan anak. Membayangkan layanan perpustakaan daerah di daerah seperti ini, yang tentu tak buka di hari libur -padahal ini saatnya orang bisa berekreasi dengan bacaan dan sebagai bagian penting membentuk budaya membaca masyarakat- membuat saya termenung sendirian sembari mengetik tulisan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun