Mohon tunggu...
Nur Hidayat
Nur Hidayat Mohon Tunggu... -

saat ini sedang menjalani studi S1 di Univ. tribhuwana Tunggadewi Malang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menanti Sang Obor Peradaban

4 Juni 2013   16:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:32 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pemuda dan peradaban merupakan dwi tunggal yang tidak dapat terpisahkan, peran strategisnya menjadikan kaum muda sebagai ujung tombak dalam goresan-goresan sejarah. Dari segi keindonesiaan, tahun 1928 merupakan momen penting bagi pemuda dalam penegasan bahwa pemudalah pengemban amanah `obor peradaban` dengan berlandaskan keintelektualan dan idealisme serta konsistensi dalam keberpihakan pada kebenaran. Keintelektualannyalah mampu membangunkan kesadaran solutif dalam berbagai kompleksitas problematika sejalan dengan kebutuhan dan tantangan zaman.

Harapan orang tua dan masyarakat mengadukan dan mempercayakan nasib masa depan putra putrinya kepada universitas adalah bentuk riil kesadaran masyarakat bahwa sebuah perubahan menjadi hal yang utopis tanpa pendidikan memadai, dan hal ini pulalah yang diharapkan sebuah laju peradaban progresiif yang mampu menjawab berbagai tantangan zaman, bukan para teoritis yang berbengong-bengong ria saat dihadapkan pada kenyataan hidup. Bukan pula pemuda yang bersantai ria saat kebiadaban politik menggerogoti bangunan moral bangsa.

Panggilan realitaslah yang mengharuskan semua pihak memiliki ghirah lebih dalam penyadaran kaum muda dan akademisi dalam berfikir dan bersikap tidak jauh dari perannya sebagai pendorong gerbong perubahan dan menjadi suluh pembaruan. Bukan sebaliknya, menjadi masalah baru bagi keberlangsungan dinamika peradaban, masalah baru ini tentu lebih rumit dari dan membutuhkan energi ekstra dalam pemecahannya. Kaum intelektual yang mempunyai modal lebih dibanding kaum lainnya membawa konsekuensi logis antara problem dan problem solving. Dikatakan problem solving dikarenakan kaum ini adalah satu-satunya elemen masyarakat yang berpengatahuan lebih terkait berbagai kebutuhan masyarakat dan bangsa. Juga dikatakan problem jika asupan edukasi yang prospeknya berhaluan pada kemajuan bangsa malah menjadi bumerang terselubung, misal dalam pada itu seorang ahli teknik komputer jika bersedia diajak oleh seseorang untuk mengacaukan sistem perbankan, seorang ahli hukum menjadi mafia hukum, dan semakin carut marutnya berbagai lembaga vital baik pemerintah maupun swasta. belum lagi terjangkitnya birokrasi negeri ini oleh virus klasik KKN yang mencatatkan reputasi indonesia pada kategori negara terkorup di dunia bahkan setiap tahunnya terdapat peningkatan signifikan. Pertanyaannya siapa lagi individu atau kolektif yang masyarakat amanahi secara implisit untuk dapat melakukan perubahan.

Pemuda, ya hanya pemuda dan kaum intelektuallah jawabannya, mengapa?

Bukan rahasia jika kelahiran bangsa ini pun di bidani oleh kaum muda dan intelektual sebut saja soekarno, hatta, syahrir dan kawan-kawan. Dengan mentalitas pembaruan serta semangat perlawanan memporak porandakan imperialis yang telah lebih dari tiga setengah abad berdiri diatas tanah pribumi. Beda usia tentu beda pula permasalahannya, begitupun pada bangsa ini yang telah ‘mengaku’ merdeka sejak tahun 1945 walaupun dunia berkata lain, seperti PBB yang baru mengesahkan kemerdekaan kita pada 1949. Dan kemerdekaan seutuhnya pada 1998 sebagai awal dari asa masyarakat pada perubahan yang hakiki.

Garis peradaban ternyata berkata lain, kaum inelektual hari ini cenderung lebih enjoy berada dilingkaran kebiadaban politik, menjadikan keintelektualannya sebagai penyokong kekuasaan serta membenarkan kekejian dan penindasan demi perut masing-masing bukan melanjutkan amanah perjuangan yang bersifat kemaslahatan umat. pergeseran idealisme ini merupakan kesuksesan luar biasa bagi segelintir penguasa. Semangat pembaharuan dan perlawanan rapuh ketika benturan kondisi kaum intelektual tak seimbang dengan berbagai kebijakan yang membuat posisi strategis ini harus digadaikan dan melupakan kucuran darah rakyat. Sadar diri, sadar posisi peran dan fungsi, mungkin inilah pesan yang tanamkan kembali kepada kaum intelektual dan akademisi dengan semangat gelora kepemudaan harapannya mampu menjadi tulang punggung dinamika sosial, lebih jauh peradaban serta me-manaje berbagai ketimpangan hari ini. Panggilan bagi kaum yang masih sadar dan peduli terhadap realitas amburadulnya sistem dan kebijakan di bangsa yang jauh dari harapan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun