Mohon tunggu...
Nur Hidayat
Nur Hidayat Mohon Tunggu... -

saat ini sedang menjalani studi S1 di Univ. tribhuwana Tunggadewi Malang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sepak Bola dan Harga Diri Bangsa

4 Juni 2013   16:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:32 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dari sekian banyak cabang olahraga, sepak bola menjadi satu-satunya olah raga yang mampu menarik perhatian hampirseluruh lapisan masyarakat. Hampir seluruhnya, tidak mengenal profesi dan status sosial masyarakat tumpah ruah mendukung langsung setiap pertandingan yang dilakoni timnas. Masyarakat juga secara khusus meluangkan waktu dirumah untuk menonton langsung serta mendoakan sebuah kemenangan kepada tim nasional kebanggaan. Syukurnya, setelah perpecahan berlarut-larut, kemenpora mampu menjadi mediator rekonsiliasi dan penyatuan lembaga tertinggi sepak bola nasional.

Sepak bola, oleh beberapa kalangan sering kali dikaitkan dengan kredibilitas sebuah bangsa, karena disadari atau tidak, sepak bola memang mencerminkan karakter dan kepribadian sebuah negara. Sepak bola lokal yang sering kali diwarnai konflik dari tataran elit hingga suporter menunjukan betapa bangsa Indonesia masih jauh dari kondusif. Terlihat dari kehadiran dualisme liga, keterlambatan gaji pemain, kisruh antar supporter, serta sederet persoalan yang menghiasi wajah persepak bolaan nasional.

Mentalitas pemain sepak bola indonesia, tidak jauh berbeda dengan kondisi suporter, dapat dilihat dari ribuan pertandingan yang telah dilakukan, baik lokal maupun internasional. Tidak jarang, aksi kurang sportif sering kali ditampilkan baik di dalam maupun diluar pertandingan. Aksi pemukulan dan penghinaan kerap terjadi baik antar sesama pemain maupun kepada wasit.

Selalu Menjadi Penonton

Di Indonesia terdapat banyak komunitas pecinta tim sepak bola luar negeri, terutama tim-tim benua eropa. Sebut saja, madridista, milanisti, interisti, dan sejenisnya. Menjamur seiring perkembangan dan peningkatan suhu persaingan perebutan tahta tertinggi baik liga lokal maupun liga champion eropa. Siapa yang menolak, bahwa sebenarnya di hati mereka terbesit hasrat melihat lagsung klub lokal maupun tim nas untuk bersaing di kancah persepakbolaan dunia. Bukan hanya pertandingan persahabatan.

Namun nampaknya rakyat harus bersabar, karena jangankan untuk melihat tim nas berlaga di kancah dunia sebagai finalis, kualifikasi liga asia saja nampaknya perlu keajaiban untuk lolos. Ternyata cukup sulit bagi para pelatih dan ofisial, untuk menyaring 250 juta rakyat Indonesia untuk mencari 11 orang yang mewakili bangsanya bertanding dan mengibarkan sang merah putih, menerbangkan sang garuda di langit negeri orang. Padahal, pada saat indonesia masih bernama hindia belanda, sempat menjadi finalis di turnamen tertinggi yang dihelat FIFA yaitu piala dunia. Namun, nampaknya untuk kembali menuju kesana, saat ini hanya masih sebatas mimpi disiang bolong.

Tingginya hasrat rakyat, tidak sejalan dengan sikap para elit yang selalu mengedepankan egoisme pribadi. Koreksi serta evaluasi tentu diperlukan demi kemajuan sepak bola dalam negeri. Tentu banyak sekali catatan-catatan penting yang perlu disampaikan, diantaranya: pertama, stop politisasi sepak bola. Kedua, perlu adanya regenerasi secara kontinyu demi pembaruan kekuatan tim nasional. Serta melakukan reformasi birokrasi. Pihak-pihak yang tidak punya komitmen pada lembaga, tentu perlu sortir. Jangan sampai lembaga yang menangani perihal olahraga menjadi tidak sehat.

PSSI yang baru saja mengalami sedikit kemajuan. Tentu untuk mengembalikan kejayaan sang garuda perlu penataan kembali dari nol. Mengingat beberapa hal mendasar perlu ikut mendukung dalam modifikasi dan inovasi di internal lembaga. Seperti melakukan upaya sterilisasi lembaga, proses rekruitmen pemain tim nasional, serta pembinaan sejak dini. Sehingga indonesia tidak lagi krisis pemain bertalenta tinggi. Sejatinya, sama saja, baik di eropa maupun asia, tidak akan terpengaruh pada kondisi fisik. Toh, Lionel Messi bisa berjaya menjadi pemain terbaik dunia tiga kali berturut-turut. Padahal postur pemain yang satu ini tidak seperti kebanyakan pemain eropa.

Tidak ada alasan bagi indonesia untuk tidak berprestasi, segalanya bisa saja menjadi kenyataan. Jika kepentingan masyarakat banyak lebih dikedepankan dibandingkan kepentingan perut oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Bahkan pada laga-laga penting presiden sering kali turun gunung memberi semangat kepada para ‘pahlawan’ di lapangan hijau. Pemerintah pun menggelontorkan sejumlah anggaran untuk memberikan bonus tambahan kepada pemain saat berhasil membawa pulang kemenangan maupun menjadi finalis turnamen local asia tenggara maupun piala Asia. Rakyat sangat haus akan juara, minimal juara di tataran lokal (asia tenggara). Rakyat sudah terlalu lama menunggu.

Sekali lagi, pertaruhan yang dihadapi para pemain tim nas bukan perosalan lembaga PSSI maupun pemerintah. Namun pertahuannya adalah 250 juta penduduk indonesia yang setia menunggu kehadiran juara sebagai balasan atas kesetiaan rakyat. Mengembalikan kejayaan sepak bola nasional sama dengan mengembalikan harga diri bangsa, serta menjadi tolak ukur peradaban bangsa. Apakah menjadi bangsa lemah, tempramen atau bangsa sportif yang mengedepankan aspek santun dalam masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun