Internalisasi ideologi partai mutlak dilkaukan karena pada sejatinya politik merupakan follow up dari ideologi. Nasionalis, religius, sekuler telah kehilangan jatidirinya dalam pentas politik nasional. Bukan tanpa alasan, kita lihat jejak langkah para kader partai yang terdistribusi di lembaga legislatif dan eksekutif. Belum tercermin sikap politik yang tegas terkait ideologi mereka. Hanya kebijakan dan statemen normatif yang keluar dari masing-masing kader partai.
Pada dasarnya, partai merupakan kawah candradimuka bagi individu-individu yang berhasrat melayani rakyat. Pengabdian secara tulus merupakan konsekuensi logis sebagai pemimpin pelayan, bukan tendensius. Namun realitas berkata lain, partai hanya dijadikan sebagai kendaraan yang menghantarkan aktor politik mencapai kepentingan pribadi. Kekayaan dan kejayaan masing-masing.
Kutu Loncat
Fenomena kutu loncat mencuat seiring dekatnya masa pesta demokrasi, para politisi dengan bebas berpindah dari satu partai ke partai yang lain. Dengan alasan apapun, jelas hal itu menunjukkan kualitas politisi hari ini belum terinternalisir ideologi masing-masing partai.
Berbeda dengan saat awal-awal masa reformasi.yang mengedepankan ideologi serta kontestasi masing-masing ideologi yang kentara.Entah karena kualitas politisi saat itu mengedepankan aspek idealisme, bukan tendensius demi perut sendiri. Kutu loncat juga menamabah apatisme rakyat dalam setiap pemilu maupun pilkada. Tercatat dari beberapa pilkada yang digelar tahun 2013, hampir semua daerah tersebut menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda, yakni dibawah 65 persen. Ironi, pesta yang di helat lima tahunan yang di klaim sebagai pesta rakyat, malah rakyat enggan menghadiri pesta tersebut.
Sikap apatisme warga bukan tanpa alasa dan bukan pula sikap instan. Jalan panjang demokrasi menunjukkan wajah buram dari tahun ke tahun. Politisi yang jauh dari sikap bersih dari praktik korupsi, konflik internal partai serta proses pesta demokrasi yang diwarnai berbagai kecurangan. Sehinggatidak heran, beberapa pilkada terahir menampilkan ketidakpuasan calon kepala daerah atas hasil yang disampaikan komisi pemilihan umum (KPU). Mereka enggan menandatangani berita acara, terlebih menggugat hasil tersebut dengan mengajukan gugatan kepada mahkamah konstitusi. Orang bijak berkata “sesama curang jangan saling mendahului”. Maling jangan teriak maling.
Berbeda indonesia tentu berbeda dengan venezuela, china, korea utara serta negara-negara lain yang memiliki identitas tegas dalam hal ideologi yang menggerakkan segala bentuk kegiatan politik. Presiden venezuela yang juga tokoh pergerakan revolusi serta salah satu tokoh penentang dominasi Amerika serikat sangat tegas dengan ideologi sosialisnya. Yang menghantarkan negeri tersebut pada sikap mandiri, jauh dari intervensi pihak asing. Korea utara dengan komunisnya secara terbuka menabuh genderang perang kepada negeri adi kuasa amerika. Ahmadinejadpun demikian, dengan identitas religiusnya tanpa ragu mengumandangkan nyanyian-nyanyian berkualitas yang menggemparkan dunia. Bagaimana dengan indonesia, saat harga diri bangsa diinjak-injak pemerintah malaysia? Kasus TKI yang di bunuh, diperkosa? Apa sikap kita?
Jika dibandingkan dengan negara-negara diatas seharusnya Indonesia tidak kalah, karena usia kemerdekaan indonesia yang tidak muda lagi. Seharusnya nilai tawar indonesia sejajar dengan negara-negara maju saat ini.Maka menjadi benar jika ada yang berkata, jika suatu posisi strategis tidak dipegang oleh orang yang benar, maka tunggulah kehancurannya. Lugas dan tegas pesan tersebut nampaknya relevan dengan realitas bangsa kita hari ini, sektor-sektor strategis tidak dipegang oleh orang yang benar dan tepat. Hukum digandrungi mafia dan makelar, pertanian dihinggapi individu-individu yang tidak kompeten, kesehatan hanya menjadi kebutuhan yang sulit dijangkau masyarakat miskin, pendidikan apalagi.
Jika kembali kepada titah ideologi masing-masing, maka jelas muara kebijakan akan dikembalikan kepada rakyat. Rakyat yang menikmati manisnya kebijakan populis. Bukan segerombol mafia anggaran, makelar kasus serta pemeras dan perampok harta rakyat.
Nasionalisasi disegala sektor yang menjadi hajat rakyat banyak menjadi sebuah keharusan, jika fondasi negeri ini tidak terlupakan. Undang-undang dasar dan pancasila, dengan tegas berpesan agar segala potensi alam di nusantara dikelola dan dikembangkan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat, bukan kapitalis, bukan pihak asing. Kembalikan harta negara kepada rakyat.
Ketidak jelasan ideologi partai membawa Indonesia menjadi negara berideologi galau, berbagai kebijakan seperti di paksakan, meski rakyat melawan. Relokasi pasar tradisional, menjamurnya usaha ritel, serta buruh yang semakin tidak diperhatikan. Seharusnya dengan sikap marhaenis dari para kaum nasionalis serta sikap Robbani yang dipegang partai religius, logis jika secara bersama menentang kebijakan tersebut.
Ideologisasi
Solusi dari komplikasi problem di negeri ini hanya satu, kembali kepada ideologi, lakukan internalisasi ideologi. Sehingga mars dan hymne partai bukan hanya berkumandang pada saat agenda seremonial partai, melainkan tercermin dalam sikap dan tindakan partai dalam memegang amanah rakyat. Kembalikan partai sebagai wadah kaderisasi, jadikan partai modern dengan menekankan upaya pembangunan sistem, bukan pada tokoh. Partailah yang seharusnya mengorbit tokoh, bukan sebaliknya.
Dengan demikian fair, jelaslah mana politisi dan pemimpin berkarakter dengan politisi dan pemimpin yang hanya berorintasi pada kejayaan dan kekayan pribadi. Akan tampak pula perdebatan kebijakan yang berlatar belakang ideologi, bukan perdebatan asumsi pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H