Mohon tunggu...
Ahmad Dawam Pratiknyo, Dwi
Ahmad Dawam Pratiknyo, Dwi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

aku berpikir karena itu aku ada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam, Agama Spirit Kenegaraan

4 Juni 2013   00:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:34 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dunia sekarang sungguh dunia yang membutuhkan tenaga ekstra untuk menumbuhkan anak-anak bangsa agar menjadi negara yang maju tentunya. Dalam membangun Negara peran dari para pemuda penerus bangsa memanglah sangat dibutuhkan didalamnya, dan semua itu haruslah dibarengi dengan keyakinan atas apa yang dilakukan sesuai pada ajaran mereka masing-masing. Karena sebuah agama dalam pembentukan sebuah Negara maupun anak bangsa memanglah sangatlah profit, terlihat dari ajaran-ajaran yang dibawa oleh masing-masing agama yang ada di negara yang ditempati khususnya.

Agama saat ini merupakan realitas yang berada di sekeliling manusia. Masing-masing manusia memiliki kepercayaan tersendiri akan agama yang dianggapnya sebagai sebuah kebenaran. Agama yang telah menjadi kebutuhan dasar manusia ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial manusia tersebut. Bagi tokoh sosial Emile Durkheim, mengatakan bahwa agama merupakan suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Sehingga kita manusia di alam sosial untuk tetap terus menjaga keimanan dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya terhadap Tuhan dengan melakukan ibadah dalam dunia sosial, dengan menjalin hubungan antar manusia. Yang akhirnya akan membentuk sebuah tatanan sosial yang begitu membangun jiwa kebangsaan terhadap negaranya.

Agama memanglah dimiliki oleh semua manusia di bumi untuk bersosial, karena agama sendiri tak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial yang telah dianggap sebagai sebuah kebenaran dalam berpijak menjalani kehidupan berbangsa maupun berbegara. Agama sendiripun telah mendarah daging dalam diri manusia, yang mana ajaran dan nilai-nilai yang beranah pada kenegaraan yang terletak dalam sebuah agama untuk diterapkan. Agama itu sendiri telah mengajarkan akan sebuah keadilan dalam bermasyarakat dan bernegara. Dan ingin menjadikan agama sebagai sebuah pijakan dalam menciptakan sebuah tata negara yang baik dan benar.

Dan makna dari sebuah agama sendiri merupakan sebuah wilayah yang ada di muka bumi yang didalamnya terdapat sebuah kekuasaan meliputi politik, militer, ekonomi, sosial, maupun agamanya diatur oleh pemerintah yang berada di wilayah tersebut dengan aturan yang telah disepakati bersama oleh penduduknya. Negara Indonesia bisa bertahan sampai abad 21 ini, tak luput dari sebuah perjuangan para tokoh agama dalam membela negara kala masa kolonialisme. Peran seorang tokoh agama dalam mempertahankan tanah air tercinta begitu penuh rasa nasionalisme, lebih tepatnya oleh agama Islam yang dirasa sebagai agama yang mendominasi dalam Negara Indonesia ini.

Dalam sebuah ajaran Islam, bahwa sebuah perjuangan yang nantinya akan menjadikan sebuah Jihad atau perjuangan dalam mempertahankan tanah kelahiran merupakan sebuah perjuangan yang amat sangat mulya. Karena selain mempertahankan keluarga, harta benda maupun negara untuk keberlangsungan anak cucu kita nantinya dalam meneruskan perjuangan para pejuang. Sehingga dalam ajaran Islam jikalau semua itu diperjuangkan maka rasa kebanggaan dalam hati setiap individu akan merasakan kepuasan batin, dan akan mendapatkan janji Tuhan terhadap kaum-Nya. Tokoh agama yang mempunyai jiwa nasionalisme contoh saja Pangeran Diponegoro putra Sri Sultan Hamengku buwono IV, Imam Bonjol, dll.

Akan namun, relasi agama dan negara sebagaimana dialami Indonesia selalu mengalami gelombang pasang surut. Menurut Katerine Dalacaoura bahwa relasi agama (Islam) dan politik (Negara) tidak dapat dipisahkan, akan namun memberikan sebuah spirit dalam bernegara. Dalacaoura menyebutkan dalam bukunya Islam Liberalism & Human Rights bahwa; religion and politics are one. Jika memperhatikan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, maka tidak dapat dipungkiri jalinan (relasi agama dan politik/negara) tersebut terjadi. Piagam Madinah bahkan oleh sebagian Ahli dianggap sebagai sebuah konstitusi dikarenakan terjadinya kontrak di antara kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan untuk diatur dalam tataran pemerintahan.

Beda jauh dengan kondisi Indonesia yang masih mengedepakan agama dalam bernegara dengan mayoritas yang menguasai pemerintahan, Indonesia menunjukkan bahwa agama dan negara memiliki sebuah ”jalinan mutualisme”. Dengan hasil yang dimaksut dari mutualisme bahwa Negara diisi dengan spirit kerohanian agama dan agama sendiri dilindungi, bahkan diatur oleh negara. Missal saja Keberadaan UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama, secara tidak langsung telah memperlihatkan peran negara dalam hukum agama. Namun jikalau ditinjau dalam takaran yang lebih luas dan mendalam, keberadaan produk perundang-undangan tersebut juga memperlihatkan bahwa agama memengaruhi jalannya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah. Jadi, di dalam sebuah pemerintahan tersebut sebuah agama telag ikut andil untuk perubahan negara.

Akan namun pada dunia yang akan lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum itu telah merajai pada diri manusia itu sendiri. Dimana mereka telah menjual agama terhadap masyarakat untuk mengambil alih simpati masyarakat, yang mana dari pada itu merupakan sebuah pragmatisasi oleh mereka yang tak dirasa oleh para bangsa dan negara di Indonesia kala ini.

Di dalam sebuah agama Islam sendiri juga mengajarkan bagaimana kita dalam bermasyarakat harus berdealektika terhadap sesama manusia demi terjalinnya hubungan antar sesama yang nantinya akan tercipta sebuah tatanan sosial yang baik. Di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat petunjuk dan pedoman bagi manusia untuk mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang-tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti prinsip musyawarah atau konsultasi, ketaatan terhadap pemimpin, keadilan, persamaan, dan kebebasan beragama; semisal bunyi surat An-Nisa:59 “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan pemimpin di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah da Rasul kalau kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik kesudahannya.”[1]

Mengingat atas tempo dulu tatkala menjelang hari-hari Proklamasi Kemerdekaan ’45 bahwa negara baru Republik Indonesia harus meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, maka kala melihat komposisi penduduk dan geografisnya tidak mungkin sebuah negara ini berdiri atas suatu negara tertentu atau menyatakan suatu agama tertentu untuk menjadi sebagai agama negara. Dan Islamlah yang telah mendominasi sebagai pengikut agama keyakinan mayoritas penduduk negara Indonesia ini.

Terdapat optimisme yang kuat semestinya oleh para penerus bangsa ini atas duduknya agama Islam di negara Indonesia saat ini. Karena gerakan islam adalah suatu kekuatan besar yang dapat menjadi elemen penting dari perubahan sosial sebagai tulang punggung di Indonesia. Disebut juga bahwa kelompok Islam fundamentalis juga memiliki modal sosial yang tak kalah berharganya, sebab kenapa? Karena gerakan kelompok tersebut merupakan barisan yang aktif dan militan, sikap oposisional terhadap imperialisme barat, serta gaya hidup yang bertolak belakang dengan kultur kapitalisme (Prasetyo, 2003)[2].

Itu ulasan yang mestinya dijadikan acun oleh para kaum muslim dalam bernegara untuk bisa lebih maju dalam menata tanah airnya.  Di sini penulis akan membawa kedalam peristiwa dahulu tentang piagam madinah yang dicanangkan oleh Nabi terhadap penduduk Madinah yang belumlah semua memeluk Islam, namun di sana Islam sebagai agama majemuk dalam kota itu sendiri. Sehingga piagam madinah dianggap sebagai konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam yang pertama dan yang didirikan oleh Nabi di Madinah. Oleh karenanya telaahan yang seksama atau piagam itu menjadi sangat penting dalam rangka kajian ulang tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan.

Tidak hanya pada peristiwa madinah yang dapat kita kaji untuk negara. Sebuah musyawarah yang akan kita dapatkan dalam menentukan atau menginstruksi kepada kaumnya didapat pada masa Nabi menentukan pada saat menghadapi pertempuran Badar. Salah satu hal yang patut dikaji dari periode tersebut adalah bagaimana mekanisme pengambilan keputusan mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama pada waktu itu, oleh karena dari mekanisme pengambilan keputusan akan dapat diketahui tentang berapa jauh anggota-anggota masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan urusan kenegaraan dan tentang siapa yang memiliki kata terkahir. Dan menggunakan sarana musyawarah sebagai tempat untuk menyelesaikan sebuah permasalah yang dirasa cukup sulit untuk diselesaikan. Sehingga musyawarah menjadikan tempat untuk penyelesaiannya dengan berbagai pertimbangan.

Sebagaimana yang telah terjadi di pelbagai kultur masyarakat Indonesia khususnya, dalam hal terkecil dalam lingkup masyarakat mereka kerap kali mengadakan sebuah pertemuan seperti halnya rapat RT. Dan semua itu telah mendarah daging dalam diri jiwa bangsa Indonesia. Dan membentuk karakter bangsa untuk menata negara dengan penuh kehati-hatian dalam mengambil keputusan, dengan juga diiringi oleh para sesepuh sebagai rasa bentuk penghormatan atas yang dituakan dalam tataran lingkup tersebut untuk dimintai saran dan nasehat dalam musyawarah tersebut.

Banyak sekali dalil dalam fiqh Islam yang mengafirmasi ketaatan kita kepada ulil amri. Bahkan kewajiban ini tetap berlaku meskipun ulil amri melakukan kedzaliman kepada kita. Mutlaknya ketaatan kepada pemerintah dan absolutnya kekuasaan mereka terhadap rakyat bukan berarti sistem kenegaraan dan pemerintahan kita bersifat despotik, dan tidak demokratis.
Dalam perspektif Islam kedudukan dan perilaku setiap orang senantiasa ditimbang dan terikat oleh syariat. Ketaatan terhadap ulil amri (pengusa) yang berlaku dzalim bukan berarti menerima kedzalimannya. Sebelum itu, jika kita mengangkat seseorang sementara ada orang selain dia yang Allah lebih ridho kepadanya, kita dianggap telah mengkhianati Allah, Rasul dan Kaum Muslimin. Bahkan pada keadaan tertentu kita wajib mengganti atau memerangi penguasa. Semuanya memiliki timbangan yang jelas dalam kaidah-kaidah ilmu fiqh. Ketaatan kepada ulil amri merupakan bentuk ibadah kita kepada Allah SWT. Sebab ketaatan adalah bagian dari agama dan ibadah.

[1]Sjadzali, Munawir, Haji. Islam dan tata negara:ajaran, sejarah dan pemikiran-edisi5. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Pers). 1993. hlm. 5

[2]Jurnal Pergerakan Progresif. Agama dan Negara: Jejak Persilangan Kekerasan. Yogyakarta: Resist Book. 2011. hlm. 113

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun