Mohon tunggu...
Brigitta d Avriella
Brigitta d Avriella Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Fisika Teknik, Institut Teknologi Bandung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Tinggal, Kekasih!

28 Januari 2012   14:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:21 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini sinar matahari membangunkanku. Tanpa semangat, aku masuk ke kamar mandi. Ah, hari ini pasti akan berbeda. Tidak akan ada yang sama. Bangun, mandi, sarapan, sekolah, pulang, belajar, tidur. Ya, hanya itu yang ku lakukan setiap hari. Yang berbeda adalah hari ini dan hari-hari selanjutnya akan berjalan tanpa ada orang istimewa di sisiku. Tak ada lagi kamu yang menyemangatiku dan membuatku tersenyum. Semuanya akan begitu abu-abu.
Selesai memakai seragam, aku menatap ke luar jendela. Daun-daun berguguran, burung-burung berkicau. Seharusnya pagi ini menjadi pagi yang indah dan ceria. Namun hatiku tidak. Hatiku begitu mendung. Tak ada cahaya di hatiku. Ini semua sungguh menyakitkan. Tidak, aku tidak boleh menangis. Aku sudah berjanji padamu bahwa aku takkan menangis lagi. Kau tak perlu takut, aku akan menepatinya.
Aku berjalan pelan meninggalkan rumah. Setelah sekian lama, akhirnya aku kembali pergi ke sekolah dengan naik bis. Biasanya, kamu sudah siap sedia dengan motor Ninja biru milikmu. Biasanya, begitu aku keluar dari rumah, aku akan mendapat sambutan hangat, "Selamat pagi." Namun, apa yang ku dapat hari ini? Seorang anak kecil mendatangiku dengan muka sedih. Ia menyuruhku menunduk dan mengelus kepalaku lembut. Ia berkata, "Kak, kata mama, kakak yang celalu dateng ke cini udah gak ada lagi ya, kak? Kakak cedih ya? Kata mama, kakak nangis. Kakak jangan nangis ya. Nanti adek ikut cedih." Aku hanya dapat tersenyum dan mengangguk. Aku tidak mau membahasnya. Itu sungguh menusuk hatiku.
Di rumah maupun di sekolah sama menyakitkannya. Biasanya, jika guru yang sedang mengajar begitu monoton, akan meluncur satu gumpalan kertas di mejaku. Aku ingat kita pernah dihukum bersama karena kita saling melemparkan kertas. Ah, begitu banyak kenangan di sekolah ini. Aku merasa ter-bully dengan kepergianmu. Sungguh, aku tak dapat menahan siksaan ini.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, empat, lima, enam bulan. Enam bulan sudah aku merasa kesepian dan tersiksa. Akhirnya aku memutuskan untuk memulai lembaran yang baru. Aku memutuskan untuk pindah ke luar kota. Maaf, sayang, maafkan aku. Sungguh, hatiku tidak ingin membuang semua kenangan ini. Namun, sayang, percayalah, aku melakukan ini karena terpaksa.
Tibalah hari dimana aku harus pindah. Aku menatap rumahku untuk terakhir kalinya. Tiba-tiba aku teringat bagaimana hubungan kita dimulai di rumah ini. Tidak, sayang, aku tidak akan mengakhirinya di sini juga. Aku masuk ke mobil. "Pa, aku mau ke sekolah dulu. Mungkin untuk terakhir kalinya."
Sekolah. Sejak TK aku menimba ilmu di tempat ini. Sekolah inilah yang menambah wawasanku, membentuk karakterku, membawa kesuksesanku, dan mengenalkanku pada dirimu. Kenangan di tempat ini tak kalah banyaknya dibanding kenangan di rumah. Aku menatap gedung sekolah tercinta ini.
"Selamat tinggal, sekolahku. Mungkin ini terakhir kalinya aku melihat gedungmu," ujarku lirih.
Papa menepuk pundakku dari belakang. "Papa tau ini berat. Tapi ini semua demi kebaikanmu." Aku hanya dapat mengangguk pelan. "Apa kau sudah selesai? Apa kita sudah bisa ke bandara sekarang?"
Aku menggeleng. "Aku ingin pergi ke satu tempat lagi, Pa."
Sampai di tempat tujuan, aku melangkah pelan menuju arah yang selama ini ku hindari. Aku melihat ukiran namamu. Terukir indah, seindah ukiran namamu di hatiku, seindah matamu, tawamu, senyummu. Aku tak kuat untuk terus berdiri. Perlahan aku jatuh berlutut. Tanpa komando air mataku mengalir. Aku tidak ingin menahannya. Aku tidak sanggup. Sayang, maafkan aku yang tidak menepati janji. Biarkan aku menangis karenamu. Jangan halangi aku. Aku takkan mengulanginya, ini yang terakhir.
Aku terus-menerus menyebutkan namamu. Sayang, maaf aku tidak pernah mengunjungimu. Maaf aku selalu menghindari tempat ini. Apa kau tahu, sayang, kalau selama ini aku tersiksa? Aku tersiksa dengan kenyataan bahwa penyakit kanker otak itu menyerangmu, kenyataan bahwa kau harus meninggalkanku sendirian karenpa penyakit itu.
Sayang, hari ini aku datang untuk pertama kali dan terakhir kali. Aku ingin mengucapkan selamat tinggal. Aku akan pergi. Aku akan melupakanmu. Melupakanmu untuk sementara. Karena pada akhirnya aku akan bertemu lagi denganmu. Di hadapan Yang Maha Kuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun