Hukuman mati sudah sangat tua. Bahkan setua peradaban manusia. Pelaksanaan hukuman mati pada zaman dahulu dilakukan pada orang yang melakukan kejahatan tertentu dengan bentuk hukuman mati yang berbeda-beda. Salah satu peristiwa hukuman mati yang sangat fenomenal pada zaman kuno terjadi pada seorang Filsuf Yunani antik, yaitu Socrates. Dia dijatuhi hukuman mati karena dituduh merusak akal kaum muda. Dia dipaksa untuk minum racun. Itu hanya satu contoh bahwa hukuman mati sudah ada pada abad silam.Â
Meskipun begitu hukuman mati masih tetap "eksis" sampai saat ini untuk meredam pelaku kejahatan besar seperti narkoba, pengkhianatan, teroris, dan sebagainya. Hal ini berlaku di beberapa negara di dunia termasuk Indonesia.
Data Amnesti Internasional menunjukan bahwa ada 114 vonis hukuman mati di Indonesia pada tahun 2021. Angka itu terbilang besar. Lalu mengapa Indonesia mempertahankan hukuman mati.Â
Dose Filsafat Politik UGM, Agus Wahyudi berkomentar bahwa ada dua argumen domina bagi penerapan hukuman mati di Indonesia. Pertama pencegahan. Argumen ini dibangun dengan alasan penekanan pada kejahatan. Ini adalah cara untuk menghilangkan kejahatan.Â
Kedua retributivisme. Argumen ini menekankan balasan setimpal untuk mendapat keadilan dihadapan hukum. Artinya pelaku kejahatan harus siap menerima konsekuensi hukum dari perbuatannya (dikutip dari Tempo.co).
Terlepas dari kedua argumen di atas pada dasarnya hukuman mati tidak dapat dibenarkan. Hukuman mati itu "cacat moral". Untuk menyokong argumen ini kita pergi kepada konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Bahwa semua orang memiliki hak asasi yang melekat pada dirinya sejak lahir. Salah satunya adalah hak atas hidup.Â
Hak atas hidup ini tidak diberikan oleh siapa pun. Itu artinya bahwa tidak ada seorangpun yang mempunyai wewenang untuk mencabut nyawa orang lain. Logisnya membunuh (hukuman mati) itu tidak dibenarkan secara moral. Karena melanggar hak hidup dan martabat manusia.
Perihal martabat manusia, Gereja Katolik sangat menyuarakan agar semua tindakan yang melecehkan martabat manusia dihapuskan termasuk hukuman mati. Dengan begitu Gereja Katolik tidak mendukung keberadaan hukuman mati dewasa ini. Hal ini diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae yang dikeluarkan pada 25 Maret 1992.Â
Berikut kutipannya: "Dalam hal ini ada kecenderungan yang makin kuat, baik dalam Gereja maupun dalam masyarakat sipil untuk menuntut agar hukuman mati itu diterapkan secara amat terbatas atau bahkan agar dihapuskan sama sekali. Masalah ini harus dilihat dala konteks sistem keadilan hukum yang sesuai dengan martabat manusia dan dengan demikian, pada akhirnya, dengan rencana Allah bagi manusia dan masyarakat. (No 56).
Sikap Paus ini mewakili Gereja menyuarakan kesederajatan manusia termasuk terpidana mati. Hal ini memberi sinyal bahwa hukuman mati adalah tidak manusiawi. Hal ini dilanjutkan Paus Fransiskus. Bapa Suci mengeluarkan pernyataan penolakan terhadap hukuman mati. Hal ini diungkapkan dalam surat kepada Komisi Internasional Penghapusan Hukuman Mati pada 20 Maret 2015.Â
Inti yang diungkapkan Paus Fransiskus adalah bahwa Hukuman mati tidak sejalan dengan hak hidup dan martabat manusia. Justru hukuman mati melukai hak hidup dan martabat manusia sebagai citra Allah. Pelaksanaan hukuman mati pada negara hukum adalah cerminan kegagalan. Karena membunuh atas nama keadilan. Sebenarnya keadilan tidak pernah dicapai dengan membunuh. Hal itu justru bernada pembalasan. Dengan begitu hukuman mati itu kejam dan tak manusiawi.