Mohon tunggu...
DAVIT FACHRI AKROMI
DAVIT FACHRI AKROMI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA PRODI ADMINISTRASI PENDIDIKAN,UNIVERSITAS JAMBI

Love Yourself

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan Inklusif untuk Anak Berkebutuhan Khusus

21 April 2021   19:34 Diperbarui: 21 April 2021   19:37 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua siswa penyandang disabilitas dan intelektual atau bakat khusus untuk berpartisipasi dalam pendidikan atau belajar di lingkungan pendidikan dengan siswa biasa. UUD 1945 Pasal 32 ayat menegaskan bahwa "setiap warga negara berhak atas pendidikan"; Pasal 32 ayat UUD 1945 menyebutkan: "Setiap warga negara berkewajiban mengenyam pendidikan dasar, dan pemerintah wajib menyediakan dana. untuk itu." Mengenai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 mengatur: "Setiap warga negara berhak atas pendidikan yang berkualitas". Undang-undang ini merupakan bukti kuat pendidikan integrasi sosial.

Dalam pendidikan dasar, keberadaan pendidikan terintegrasi membutuhkan perhatian yang lebih. Pendidikan inklusif adalah layanan pendidikan yang mencakup anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) yang belajar bersama anak normal pada usia yang sama (non-ABK) di kelas dewasa / umum yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Merupakan mimpi yang indah bagi para orang tua dari anak-anaknya yang memiliki berkebutuhan khusus untuk mendapatkan ABK di SD lingkungan anak-anak normal.

Pendidikan inklusif di sekolah dasar tidak dibarengi dengan konsep pendidikan yang tidak bertumpu pada semangat inklusif yaitu mengutamakan keberagaman dan hak akses pendidikan. Dalam kurikulum inklusi, masih terdapat kurikulum yang kaku dan metode pengajaran yang sulit untuk memenuhi kebutuhan khusus anak. Karena kemampuan serta keterampilan dari guru yang terbatas, integrasi kurikulum tidak dapat diselesaikan oleh guru. Guru belum mendapatkan pelatihan praktik, dan sebagian besar yang diberikan terbatas pada kegiatan sosial. Tutor dan atau guru mata pelajaran yang mengikuti kelas ABK masih menunjukkan sikap "kompulsif" saat mendampingi ABK memahami materi.

Menurut Undang-Undang Pendidikan Inklusif, anak yang diklasifikasikan berkebutuhan khusus adalah anak dengan kesulitan belajar, anak dengan kesulitan belajar, anak autis, anak cacat intelektual, anak cacat fisik dan motorik, dan anak cacat emosional dan gangguan perilaku, anak-anak dengan berbagai gangguan, dan anak-anak berbakat. Pendidikan inklusif artinya sekolah harus menerima / menampung semua anak, kecuali kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi lain yang berbeda, antara lain anak cacat, anak berbakat, anak jalanan, anak pekerja, anak ras, Budaya, bahasa, etnis minoritas dan kelompok anak-anak yang kurang beruntung dan terpinggirkan.

Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif ini membutuhkan dukungan tenaga pendidik profesional khusus dalam menjalankan proses pembelajaran dan membesarkan anak berkebutuhan khusus secara keseluruhan. Salah satu tenaga khusus yang dibutuhkan adalah konsultan khusus (GPK). Ada 8 (delapan) komponen dalam Permendiknas "Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Inklusif No. 70 Tahun 2009" yang harus menarik perhatian kepala sekolah di sekolah inklusi, yaitu: (1) Siswa, (2) Kursus, (3) Pendidik, (4) ) kegiatan pembelajaran; (5) evaluasi dan sertifikasi; (6) manajemen sekolah; (7) penghargaan dan saksi; (8) peningkatan kapabilitas masyarakat. Pendidik pada poin ketiga merupakan pendidik profesional yang tugas utamanya mendidik, mengajar, menginstruksikan, melatih, melatih, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu yang telah melaksanakan rencana pendidikan inklusif.

Oleh karena itu, mengingat pentingnya peran dan kewajiban Guru Bimbingan Khusus (GPK) dalam penyelenggaraan sekolah inklusi, termasuk seluruh anak berkebutuhan khusus di sekolah tersebut. Oleh karena itu, harus ada keseimbangan antara kewajiban dan haknya. Setelah tingkat keseimbangan tertentu, hasilnya akan dipilih seperti yang diharapkan. Sesuai dengan kemampuan guru BK, mereka akan memiliki anggaran tersendiri untuk mewujudkan integrasi sekolah yang sebenarnya, tidak hanya pelabelan dan formalitas saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun