Mohon tunggu...
Davin Hansel Pasaribu
Davin Hansel Pasaribu Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Membahas mengenai permasalahan hukum dan olahraga yang disukai

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pelanggaran HAM dalam Kasus Pegunungan Kendeng

12 Mei 2019   22:34 Diperbarui: 12 Mei 2019   22:52 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dimasa kini, pembangunan baik gedung-gedung pencakar langit, perumahan pemukiman, maupun bangunan-bangunan yang menjadi ladang bisnis seperti pabrik dan tambang sudah semakin marak dan memenuhi kota-kota besar.Pembangunan dalam skala besar seringkali dianggap sebagai indikator dari kemajuan sebuah negara, sehingga berbagai negara mulai berlomba-lomba untuk meningkatkan skala pembangunan untuk memajukan bisnis serta infrastruktur negaranya.

Demi pembangunan yang semakin menyesakkan kota, alam seringkali menjadi korban dari pembangunan modern masa kini. Penduduk dan warga sekitar hutan dan pegunungan pun seringkali ikut merasakan dampak buruk dari pembangunan dalam skala besar tesebut. Seperti didalam kasus Waduk Kedung Ombo, dimana ketika pemerintah membangun waduk dengan tujuan sebagai pembangkit listrik serta irigasi, warga yang berada di sekitar pun dipaksa untuk pergi meninggalkan tempat tinggal serta diberi ganti rugi yang tidak seberapa. Pemerintah sebagai pelindung bagi Hak Asasi warga negaranya, hendaknya selalu ada dan menaungi warga negaranya dari ancaman-ancaman terhadap hak asasi yang selalu mengintai, dan tidak hanya melindungi para petinggi, namun juga melindungi warga kecil yang memiliki kedudukan sama di mata hukum.

Kasus kali ini adalah tentang warga pegunungan Kendeng yang  mencoba mempertahankan pegunungan yang menjadi tempat tinggal serta tempat mencari nafkah, yang oleh penguasa hendak dibangun sebuah tambang dan pabrik semen, yang dikhawatirkan dapat merusak lingkungan, serta merugikan warga sekitar. Dimana Hak-hak warga sebagi penduduk sekitar dapat terancam, dan diperlukannya peran pemerintah dalam menangani kasus ini.

Sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan yang juga menjunjung tinggi pendidikan Hukum Hak Asasi Manusia, mahasiswa dituntut untuk dapat memahami serta mengaplikasikanHAM melalui kasus-kasus yang terjadi di Indonesia.Kasus di pegunungan Kendeng ini juga merupakan salah satu persoalan HAM yang wajib untuk diteliti dan dianalisis demi mencari keadilan yang seadil-adilnya bagi masyarakat yang tinggal disekitar pegunungan Kendeng.Diharapkan setelah dapat menganalisis kasus ini, mahasiswa fakultas hukum, serta para pembaca dapat lebih peduli terhadap kasus HAM yang terjadi di negara Indonesia.

Dalam upaya mempertahankan keadaan lingkungan di sekitar pegunungan Kendeng, warga melakukan demonstrasi dan juga melakukan gugatan yang menghasilkan presiden meminta di Pegunungan Kendeng dilakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), selama proses, semua tambang tak boleh operasi. Yang di makud dengan KLHS dalam Pasal 1 ayat 10 UU No. 32 Tahun 2009 adalah "rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program". Selain itu warga juga menang gugatan hukum di Mahkamah Agung atas perusahaan semen negara itu. Namun, kabar baik berkali-kali itu seakan tak berdaya, tetap saja tambang jalan.

Keadaan ini membuat masyarakat semakin tidak berdaya dan tidak dapat mengadu kemanapun lagi. Pemerintah telah lalai dalam memenuhi tugasnya untuk mensejahterahkan kehidupan masyarakatnya sesuai dengan Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".

Dalam Pasal 3 huruf b dan c UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan "Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia dan menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem, selain itu dalam Pasal 2 huruf a UU No. 32 Tahun 2009  tujuan ini didasarkan atas asas tanggung jawab Negara, sehingga jika tujuan ini tidak terpenuhi maka Negara telah melakukan pelanggaran HAM terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Selain itu jika melihat dari sisi Hak Asasi Manusia, dalam Konsideran UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. Berkenaan dengan hak atas lingkungan hidup secara jelas disebutkan dalam Pasal 9 ayat (3) menyebutkan: "Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat". Dengan demikian jelaslah bahwa hak atas lingkungan hidup merupakan hak asasi manusia, tidak saja harus diakui dan dihormati, tapi juga harus ditegakkan.

Jika dilihat dari sisi internasional maka dapat dilihat bahwa Hak atas lingkungan hidup tidak diatur secara eksplisit dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Namun gerakan lingkungan hidup (Environmental Movement) di dunia biasanya menarik Pasal 28 dalam Deklarasi DUHAM sebagai dasar justifikasi argumen bahwa hak atas lingkungan adalah hak asasi manusia. Dalam rumpun hak ekonomi, sosial dan budaya, justifikasi internasional menyangkut interaksi hak atas lingkungan sehingga ditafsirkan menjadi HAM dapat dilihat antara lain dalam (A. Patra M. Zen, dkk., Panduan Bantuan Hukum, Yayasan Bantuan Hukum Indonesia, hlm. 215) :

1) African Charter on Human and People Right, Pasal 21 (1);

2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kovenan

Hak Ekosob), Pasal 1 (2);

3) Resolusi PBB 1803 (XVII), 14 Desember 1962;

4) Resolusi PBB 3281 (XXIX), 12 Desember 1974;

5) Agenda 21 KTT Bumi Rio de Janeiro 1992.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dalam pemenuhannya mencakup "lingkungan fisik" dan "lingkungan sosial". Dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) secara eksplisit, tema "lingkungan hidup" dinyatakan dalam Pasal 12 yang merupakan salah satu bagian dari "hak setiap orang untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang paling tinggi yang dapat dicapai." Dalam pasal ini, sejumlah upaya yang seharusnya dilakukan Pemerintah untuk memenuhi hak atas kesehatan, diantaranya "peningkatan semua aspek kebersihan (hygiene) industri dan lingkungan hidup", (1)   yang mencakup upaya pencegahan wabah dan kecelakaan kerja; pencegahan dan pengurangan CESCR menginterpretasikan hak atas kesehatan secara inklusif, tidak hanya berkaitan dengan pelayanan kesehatan, tetapi juga faktor-faktor yang menopang kesehatan manusia, termasuk konsisi lingkungan dan pekerjaan yang sehat. (2) Selanjutnya dalam standar hukum internasional hak asasi manusia, "hak atas lingkungan yang sehat", dinyatakan dalam sejumlah Komentar Umum yang diadopsi Komite yang dibentuk atas dasar perjanjian internasional (Kovenan dan Konvensi internasional hak asasi manusia). Keterkaitan kedua hak ini sangat jelas: lingkungan hidup yang sehat merupakan salah satu faktor sosio-ekonomi yang memunculkan kondisi dimana masyarakat dapat menikmati hidup yang sehat (A.Patra, Hak atas Lingkungan yang Sehat: Prinsip dan Tanggungjawab Pemerintah, Artikel, Jakarta, 2008, hlm.1).

Pemerintah semestinya bukan hanya melakukan tindakan untuk memberikan suatu putusan tetapi pemerintah juga harus melakukan pemantauan dan juga penindakan terhapap pelanggaran yang terjadi. Karena tanpa adanya pemantauan dan penindakan semua upaya yang dilakukan menjadi tidak berarti dan masyarakat akan sengsara dan tidak memiliki tempat untuk mengadu. Seharusnya dengan dilakukannya pengkajian, hasil dari pengkajian tersebut dapat menjadi acuan untuk menentukan apakah masyarakat harus dipindahkan ataupun tambang yang ada harus diberhentikan serta pemberian ganti rugi yang layak kepada warga masyarakat di wilayah pegunungan Kendeng.

Daftar Pustaka :

1. Undang-undang Dasar 1945

2. Undang-undang No. 32 Tahun 2009

3. ICESR

4. A.Patra, Hak atas Lingkungan yang Sehat: Prinsip dan Tanggungjawab Pemerintah, Artikel,

    Jakarta, 2008

5. A. Patra M. Zen, dkk., Panduan Bantuan Hukum, Yayasan Bantuan Hukum Indonesia

Nama Kelompok :

1. Yosef Moscati Gracaelimond Cahyono (2016200009)

2. Davin Hansel Pasaribu (2016200052)

3. Yosefin Indraswari Lestariningrum (2016200230)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun