"Like, like, on the screen, why do you make me feel so mean? What you show, is making me low." -Nadia Nur
Pernahkah kamu merasa seperti tidak pernah cukup di media sosial? Memasuki era serba digital seperti sekarang ini, media sosial memiliki posisi penting bagi kehidupan kawula muda. Tak ayal media sosial seperti Instagram dan Twitter semakin populer dari tahun ke tahun. Akan tetapi, tekanan karena konten di dunia maya kini sudah dinormalisasikan. Tidak sedikit kemungkinan kamu mencari validasi, pujian, dan perhatian dari orang lain.Â
Kamu selalu menghitung jumlah suka, komentar, dan pengikut yang kamu dapatkan. Media sosial sekarang dijadikan sebagai ajang unjuk gigi, mencari siapa yang paling menarik dan populer.Â
Mungkin kamu merasa tidak bahagia ketika angka-angka itu tidak sesuai dengan harapan, menatap layar ponsel dan kemudian membuat satu kesimpulan; aku tidak populer. Lantas kamu menggigit bibir sambil memikirkan sederet cara untuk meningkatkan popularitas di media sosial.
Media sosial dapat membuat remaja perempuan membandingkan diri mereka dengan orang lain, terutama dengan orang yang tampak lebih cantik, lebih populer, atau lebih sukses. Mengapa demikian? Terbesit dalam benakku salah satu alasan mengapa trend dan standar kecantikan kian gila dari waktu ke waktu.
Pretty privilege atau privilese untuk orang-orang yang secara konvensional atraktif. Tidak heran ada lelucon di sosial media yang menekankan selama seseorang good looking, ia akan selalu aman; karena menurutku, lelucon itu dilandasi oleh realitas yang menyakitkan.Â
Sosial media telah mendistorsi persepsi remaja tentang apa yang salah dengan diri mereka. Orang-orang yang dikategorikan memiliki penampilan menarik tidak tahu kalau dampak dari sosial media sangat signifikan terhadap remaja yang mudah terpengaruhi.Â
Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Social and Clinical Psychology menemukan bahwa mahasiswa sarjana yang membatasi waktu mereka di Facebook, Instagram, dan SnapChat, hingga 10 menit setiap hari atau total 30 menit penggunaan untuk semua media sosial umumnya memiliki citra diri yang lebih positif.Â
Para siswa yang membatasi penggunaan media sosial mereka hingga 30 menit sehari melaporkan lebih sedikit depresi dan kesepian setelah tiga minggu. Selain itu, ada peningkatan mood yang mengurangi tingkat depresi.Â
Dewasa ini, influencer di sosial media telah memberikan kontribusi terhadap para remaja melalui unggahan foto penuh manipulasi---dalam konteks editing photoshop.Â
Keluarga Kardashian-Jenner merupakan pelopor dari segelintir tokoh media sosial yang membuat masyarakat awam tertampar bahwa pada akhirnya hanya orang-orang kaya dan cantik saja yang akan menang. Kasus kriminalitas seperti penunggakan pajak oleh Kylie Jenner seakan menguap terhembus angin karena masyarakat tidak peduli; ia cantik, tidak apa-apa membuat salah.
Tidak hanya keluarga Kardashian-Jenner, berbicara tentang tokoh internet yang tidak pernah keluar dari lingkupnya tidak akan menemukan titik terang. Namun, kehadiran mereka sudah cukup jelas melahirkan pandangan yang mempengaruhi psikologis remaja perempuan.Â
Sebelum menelisik apa saja gangguan psikologis yang muncul akibat tekanan sosial media, baiknya kamu mengetahui dengan jelas pengaruh pretty privilege pada kehidupan masyarakat. Secara biologis, konsep dari kecantikan dan ketampanan dipengaruhi oleh reproduksi seksual (Puts et al, 2013). Kamu cenderung menyukai seseorang yang membuatmu tertarik, umumnya mereka lebih sensual. Opini Puts mengenai konsep dari penampilan tersebut dapat mendukung peningkatan jumlah prosedur operasi plastik yang menunjuk Kylie Jenner sebagai sumber inspirasi. Kendati demikian, sebenarnya apa yang membuat kita suka membandingkan diri dengan orang lain? Seorang individu yang belum menginjak usia 25 tahun lebih rentan membandingkan diri dengan orang lain karena masih berada di fase eksplorasi, sehingga singkatnya belum ada keyakinan pada identitas pribadi (Prihadi, Lim, Chan, Lee, & Ridwan, 2020).
Efek dan dampak dari membandingkan diri dengan orang lain didominasi dengan emosi negatif (Taylor & Shelley, 1993). Kamu mungkin saja akan berakhir merasa frustrasi, marah, dan tidak bahagia. Menjadikan seseorang maupun gaya hidup sebagai tolok ukur kebahagiaan adalah sebuah tindakan yang merugikan, karena pengaruhnya terhadap bagaimana kamu merefleksikan diri melalui pikiran dan sikap.Â
Membandingkan diri dengan orang lain dapat menurunkan kepercayaan diri remaja perempuan, serta meningkatkan rasa iri dan tidak puas. Tidak heran insekuritas dan gangguan mental merupakan polemik yang hingga saat ini digadang-gadang sebagai suatu hal yang muncul akibat menjamurnya konten di sosial media.Â
National Institute of Mental Health melaporkan bahwa penggunaan media sosial dapat meningkatkan risiko gangguan mental pada remaja usia 18--25 tahun. Fakta tersebut tidak mengherankan karena para remaja umumnya menjadikan media sosial sebagai pembanding diri dan orang lain. Ini dapat merusak citra diri yang sehat.Â
Banyak perempuan merasa penampilannya buruk saat melihat penampilan orang-orang di media sosial. Gangguan makan seperti anoreksia nervosa dan bulimia juga kerap dianggap sebelah mata. Adanya hitungan berat badan ideal yang dilandaskan oleh standar kecantikan yang padahal tidak normal juga menjadikan kondisi psikologis remaja putri kian goyah. Sayangnya, gangguan mental ini tidak dihadapi secara serius bahkan mirisnya dinormalisasikan.
Banyak remaja menganggap bahwa semua yang muncul di media sosial adalah fakta atau kenyataan (Yang, Kim, & Suh, 2012). Padahal hasil foto yang diunggah ke sosial media bisa saja sudah melewati proses sunting dan lensa kamera tidak sesempurna mata manusia. Anggapan bahwa kehidupan harus mengikuti zaman memang tidak salah, tetapi sebagai individu yang bijaksana; tidak seharusnya kita terpaku pada standar yang ditentukan oleh media sosial.Â
Jadilah diri sendiri karena kehidupan ini tidak dijalankan oleh orang lain melainkan kamu sebagai karakter utama. Membandingkan diri dengan orang lain tidak akan menghasilkan pemikiran positif, justru akan membuatmu merasa selalu kurang dan obsesif untuk menjadi sesempurna mungkin.
Untuk mengelola pengaruh media sosial terhadap kepercayaan diri, ada beberapa langkah yang dapat diambil individu. Pertama, penting untuk menyadari bahwa media sosial hanya menampilkan bagian kecil dan seringkali diubah dari kehidupan orang lain. Tidak ada yang sempurna, dan membandingkan diri dengan gambaran yang dihasilkan dari media sosial adalah tidak realistis, mengontrol paparan terhadap konten yang dapat merusak kepercayaan diri, seperti mengurangi waktu yang dihabiskan untuk melihat postingan-peringkat diri yang tidak sehat, dan berinteraksi dengan akun dan kelompok yang positif dan pendukung yang dapat meningkatkan kepercayaan diri dan memberikan dukungan emosional.
Kedua, mengikuti akun yang mengedepankan pesan positif, motivasi, dan inspirasi dapat memberikan dampak yang baik pada kepercayaan diri. Selain itu, penting untuk membangun kepercayaan diri yang berasal dari dalam diri sendiri, bukan hanya dari pengakuan eksternal. Fokus pada pencapaian pribadi, pertumbuhan, dan kemajuan yang telah dicapai, daripada membandingkan diri dengan orang lain. Menghargai dan merayakan keunikan dan potensi yang dimiliki oleh diri sendiri dapat memperkuat kepercayaan diri.
Ketiga, mengembangkan pola pikir yang positif dan mempraktikkan self-care. Self-care artinya meluangkan waktu untuk melakukan hal-hal yang membantu untuk hidup dengan baik dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Media sosial sering kali hanya menampilkan bagian yang paling baik dari kehidupan orang lain, sehingga mudah untuk merasa tidak memadai. Penting untuk menghargai dan mencintai diri sendiri sebagaimana adanya, dengan semua kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Mempraktikkan self-care seperti menjaga kesehatan fisik dan mental, berpartisipasi dalam kegiatan yang menyenangkan, dan menghormati diri sendiri dapat membantu membangun kepercayaan diri yang sehat.
Terakhir, kita perlu mengelola waktu yang dihabiskan untuk media sosial. Â Menetapkan batasan dan membatasi waktu yang dihabiskan untuk melihat dan berinteraksi dengan media sosial dapat membantu menghindari perbandingan sosial yang merugikan dan memberi ruang bagi kegiatan dan hubungan yang lebih bermakna di dunia nyata. Fokus pada hubungan pribadi, kegiatan yang membangun, dan tujuan hidup yang bernilai dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kebahagiaan jangka panjang.
Memperhatikan kesehatan psikologis remaja adalah tindakan krusial yang dapat mencegah peningkatan kasus gangguan mental. Teknologi memang memberikan dampak positif dalam peradaban manusia, tetapi jangan sampai media sosial---sebagai salah satu hasil dan inovasi teknologi---menguasai pola pikir kita hingga mengalahkan rasionalitas.Â
Kecantikan adalah suatu hal yang bervariasi, tidak berakar pada standar yang sama dan kucamkankan sekali lagi; semua perempuan itu cantik, tanpa pengecualian. Jadilah remaja perempuan yang cerdas dan tidak termakan oleh seluruh konten di sosial media.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H