Korupsi dan kolusi telah menjadi dua masalah yang berkepanjangan dalam pemerintahan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dalam artikel ini, kita akan membahas dampak era digital terhadap kasus korupsi dan kolusi serta langkah-langkah yang dapat diambil oleh pemerintah dan masyarakat untuk mengungkap dan mencegahnya. Kita juga akan membahas pentingnya membangun kepercayaan publik dan bagaimana hal tersebut dapat dicapai melalui penegakan hukum yang adil dan transparan. Dalam era digital, kasus-kasus korupsi dan kolusi menjadi semakin sulit dideteksi dan diungkap karena kemajuan teknologi yang memungkinkan manipulasi dokumen dan pertukaran informasi secara lebih rahasia. Namun, di sisi lain, teknologi juga dapat digunakan sebagai alat untuk mendeteksi dan mengungkap praktik-praktik korupsi dan kolusi yang lebih canggih.
Kasus korupsi di era digital sering kali melibatkan penyalahgunaan anggaran dan penggunaan teknologi dalam layanan publik. Penyalahgunaan anggaran menjadi lebih sulit dideteksi karena dokumen-dokumen dapat diubah secara elektronik, memungkinkan praktik-praktik seperti penggelembungan anggaran dan mark up harga proyek menjadi lebih umum.Â
Di sisi lain, layanan publik yang menggunakan teknologi juga rentan terhadap korupsi, seperti penggunaan sistem elektronik dalam pelayanan administrasi yang memudahkan praktik pungutan liar. Teknologi juga memberikan celah bagi praktik kolusi di era digital. Kolusi, yang merupakan kerja sama ilegal antara individu atau kelompok dengan tujuan mencapai keuntungan pribadi atau kelompok, dapat terjadi melalui pertukaran informasi atau manipulasi data secara digital. Contohnya, dalam lelang online atau pemberian kontrak secara digital, kolusi dapat terjadi melalui penawaran palsu atau pengaturan harga.
Namun, meskipun era digital membawa tantangan baru dalam pemberantasan korupsi dan kolusi, teknologi juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengungkap kasus-kasus tersebut. Big data dan analisis data, misalnya, telah digunakan untuk melacak aliran uang korupsi dan mengidentifikasi pola-pola yang mencurigakan.Â
Untuk mengatasi kasus korupsi dan kolusi di era digital, diperlukan tindakan yang tegas dan komitmen dari pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus memperkuat lembaga-lembaga pengawasan dan penegakan hukum, serta meningkatkan transparansi dalam pengadaan barang dan jasa. Sanksi yang tegas juga harus diberikan kepada pelaku korupsi dan kolusi. Di sisi lain, masyarakat harus lebih kritis dalam mengonsumsi informasi dan melaporkan kasus korupsi yang mereka temui kepada lembaga yang berwenang.
Pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran dan pembangunan proyek. Informasi yang benar dan mudah diakses oleh masyarakat dapat mengurangi risiko korupsi dan kolusi. Selain itu, sistem pengawasan yang kuat juga diperlukan untuk mengurangi peluang terjadinya praktik-praktik tersebut. Peran suara mahasiswa juga sangat penting dalam mengawal penegakan hukum yang berkeadilan. Melalui aksi protes dan kampanye sosial, suara mahasiswa dapat mempengaruhi opini publik, mendorong perubahan kebijakan, dan mempengaruhi jalannya proses penegakan hukum terhadap kasus korupsi dan kolusi.
Selain itu, pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi dan kolusi juga perlu ditingkatkan. Pendidikan anti-korupsi dan kampanye publik yang melibatkan masyarakat secara aktif dapat membuat mereka lebih peka terhadap praktik-praktik tersebut.Secara keseluruhan, untuk mengatasi kasus korupsi dan kolusi di era digital, diperlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan suara mahasiswa. Dengan meningkatkan transparansi, memperkuat lembaga-lembaga pengawasan, dan meningkatkan kesadaran masyarakat, kita dapat membangun fondasi yang lebih kuat dalam memerangi korupsi dan kolusi, serta membangun kepercayaan publik yang lebih baik dalam pemerintahan.Â
Salah satunya pada kasus Skandal korupsi yang terungkap Desember 2020 ini juga menurut ICW mencatatkan sejumlah kejanggalan, mulai dari pengungkapan yang tak menyeluruh hingga penyidik KPK yang mengungkap kasus justru dipersoalkan atas tuduhan pelanggaran etik, Dalam penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos) untuk penanggulangan COVID-19 merupakan salah satu contoh yang mencoreng integritas dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.Â
Kasus semacam ini mencerminkan eksploitasi situasi darurat untuk keuntungan pribadi, yang pada akhirnya merugikan masyarakat yang seharusnya mendapatkan manfaat dari dana bantuan tersebut. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah mengalami kasus korupsi bansos COVID-19 yang melibatkan beberapa pejabat tinggi negara. Kasus-kasus tersebut mencakup berbagai bentuk penyelewengan dana bantuan, mulai dari pemalsuan data penerima hingga pemborosan anggaran yang tidak tepat sasaran.Â
Pejabat-pejabat yang terlibat dalam praktik korupsi tersebut sering kali memanfaatkan posisi dan kekuasaan mereka untuk mengalihkan dana bantuan secara tidak adil, meningkatkan biaya proyek, atau bahkan memalsukan laporan keuangan. Majelis hakim menilai Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001. Selain itu, hakim juga menjatuhkan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 14.590.450.000 atau sekitar Rp 14,59 miliar.
Penyalahgunaan dana bansos COVID-19 menjadi sorotan publik karena dampaknya yang sangat merugikan bagi masyarakat yang membutuhkan. Dana yang seharusnya digunakan untuk membantu kelompok rentan dan terdampak langsung oleh pandemi justru dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.Â