BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, merupakan blok ekonomi dan politik yang memainkan peran penting dalam tatanan global multipolar. Didirikan pada awal 2000-an, BRICS bertujuan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara berkembang dan memperkuat posisi mereka dalam politik internasional. Dengan representasi lebih dari 40% populasi dunia dan kontribusi yang signifikan terhadap PDB global, BRICS menjadi simbol kebangkitan Global Selatan.
Didirikan dengan tujuan utama untuk memperujuangkan kepentingan negara-negara berkembang dan menciptakan tatanan dunia yang lebih adil, BRICS memiliki potensi besar untuk menjadi poros kekuatan baru dalam politik global. Akan tetapi, perjalanan aliansi ini tidak sepenuhnya mulus, karena berbagai faktor internal dan eksternal yang kerap mempengaruhi dinamika antara anggotanya
Pasca-pandemi COVID-19, dunia mengalami perubahan signifikan dalam dinamika politik dan ekonomi global. Pandemi tidak hanya memperburuk ketimpangan antara negara-negara maju dan berkembang, tetapi juga mempercepat pergeseran kekuatan geopolitik. Konflik geopolitik, seperti perang Rusia-Ukraina, turut mempertegas garis pembagian antara blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutunya, dengan kekuatan baru seperti China dan Rusia yang mendorong tatanan dunia multipolar.
Di tengah situasi ini, BRICS muncul sebagai aliansi strategis yang memiliki potensi untuk menjadi poros kekuatan alternatif. Namun, BRICS juga menghadapi tantangan besar. Kepentingan nasional yang berbeda di antara anggotanya, seperti rivalitas India dan China, serta tekanan eksternal dari negara-negara Barat, menimbulkan pertanyaan tentang arah aliansi ini.
Di sisi lain, dunia saat ini mengalami polarisasi yang semakin tajam. Polarisasi ini dipicu oleh persaingan antara kekuatan besar, seperti Amerika Serikat dan China, serta konflik geopolitik, seperti perang di Ukraina. Polarisasi ini menciptakan blok-blok kekuatan yang saling bersaing, mengarah pada ketidakstabilan ekonomi dan politik global .
BRICS diharapkan dapat menjadi platform yang mendukung kerja sama internasional di luar dominasi tradisional negara-negara Barat. Namun, dinamika internal BRICS juga menunjukkan tantangan. Perbedaan kepentingan nasional, dominasi China dalam ekonomi, dan persaingan geopolitik antara India dan China menguji soliditas blok ini. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis apakah BRICS mampu membangun kerja sama yang efektif atau justru memperdalam kompetisi di tengah dunia yang semakin terpolarisasi.
Perang dagang merupakan salah satu manifestasi nyata dari polarisasi dunia modern. Ketegangan antara Amerika Serikat dan China menjadi contoh utama, di mana kedua negara memberlakukan tarif dan hambatan perdagangan yang saling merugikan. Perang dagang ini tidak hanya memengaruhi hubungan bilateral kedua negara, tetapi juga berdampak pada rantai pasok global dan stabilitas ekonomi dunia .
Selain perang dagang, sanksi ekonomi juga menjadi alat politik yang sering digunakan oleh negara-negara besar untuk menekan lawan mereka. Contohnya adalah sanksi yang dijatuhkan oleh negara-negara Barat terhadap Rusia setelah invasi ke Ukraina pada tahun 2022. Sanksi ini mencakup pembatasan akses ke pasar internasional, pembekuan aset, dan larangan ekspor teknologi strategis. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh Rusia, tetapi juga oleh negara-negara berkembang yang bergantung pada perdagangan energi dan pangan dari wilayah tersebut.
Konflik regional, seperti perang di Ukraina dan ketegangan di Selat Taiwan, menjadi katalis utama polarisasi geopolitik. Invasi Rusia ke Ukraina tidak hanya memicu krisis kemanusiaan tetapi juga memperdalam jurang antara blok Barat (NATO dan Uni Eropa) dan negara-negara yang mendukung Rusia, seperti China dan beberapa anggota BRICS lainnya.
Di kawasan Asia Timur, isu Taiwan menjadi titik panas dalam hubungan antara China dan Amerika Serikat. China menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan menentang keras segala bentuk dukungan militer atau diplomatik dari negara lain terhadap Taiwan. Ketegangan ini meningkatkan risiko konflik militer di kawasan yang menjadi pusat ekonomi global, terutama mengingat peran Taiwan dalam produksi semikonduktor.
Polarisasi global juga dipengaruhi oleh perbedaan ideologi dan nilai-nilai politik antara negara-negara. Negara-negara Barat cenderung mempromosikan demokrasi liberal, hak asasi manusia, dan ekonomi pasar bebas. Di sisi lain, negara-negara seperti China dan Rusia lebih mengedepankan model pemerintahan otoriter yang menekankan stabilitas, kedaulatan, dan non-intervensi dalam urusan domestik .