"Sungguh misterius kasus ini!", ucapku dalam hati. Sekarang ini media sedang hangat-hangatnya diramaikan oleh berita kriminal tentang pembunuhan berencana melalui racun yang dilarutkan dalam minuman kopi. Sudah berminggu-minggu pula aku mengikuti berita itu dengan rasa penasaran yang mendalam. Bak mengikuti cerita detektif dalam novel misteri, semua berita baru yang dikeluarkan oleh media (elektronik khususnya) segera kuikuti dengan rutin, satu per satu; seolah-olah aku ini juga seorang detektif penyelidik yang tak mau ketinggalan barang satu detil pun yang nantinya bisa dijadikan bukti kuat di persidangan. Semua itu kulakukan sambil mereka-reka skenario apa yang dilakoni oleh si pelaku dan motif apa yang kira-kira menjadi alasan utama di balik kasus itu. Tak cuma aku sendiri, kukira banyak orang di sekitarku juga menunggu akhir dari cerita yang sangat membuat penasaran ini, sambil berharap-harap cemas akan ending yang klimaks dan mendebarkan.
Akan tetapi semua hal ini kembali menyadarkanku akan kekuatan dari media. Kasus pembunuhan yang sebetulnya biasa saja, yang sudah seringkali terjadi bahkan di kotaku yang kecil ini, dibuat sedemikian heboh. Semua media seolah tak mau ketinggalan memberitakan, baik itu media cetak, portal berita online terutama, televisi, hingga radio. Kasus yang sudah jamak terjadi ini rupanya diangkat sedemikian tinggi hingga menimbulkan efek yang sangat menarik perhatian khalayak, begitu pikirku. Kasus ini juga menjadi salah satu contoh dari entah sudah berapa banyak peristiwa lainnya yang berhasil "digoreng" dan disajikan dengan sangat menggugah selera. Meskipun banyak juga ending dari "gorengan-gorengan" itu berakhir dengan anti-klimaks, atau malah tak ber-ending sama sekali. Bak iklan produk burger cepat saji yang foto-fotonya kerap ditampilkan dengan sensasi yang membuat air liur menetes, kenyataannya setelah disajikan yang didapat pembeli hanyalah burger yang kempes, tipis, rupa yang jauh dari foto iklan, harum yang tidak menggugah selera, wadah kertas penuh minyak, dan pelayanan yang sama sekali jauh dari kata ramah. Kesemua itu belum ditambah lagi oleh opini pribadi dari khalayak. Di era yang membuka selebar-lebarnya pintu kebebasan berpendapat atas nama reportase rakyat (citizen journalism), dengan mudahnya suatu teori dikembangkan dan disebarkan demi menanggapi suatu kasus yang sedang naik daun. Maka tiap-tiap individu di negara inipun boleh dikatakan mendapat angin segar untuk lantas menyebarluaskan aneka rupa analisanya masing-masing. Belum sempat satu kabar kucerna, datanglah bertubi-tubi kabar baru lainnya. Bayangkan betapa ruwet, simpang siur, dan sensasionalnya informasi serta berita yang bisa kutangkap di hari-hari belakangan ini.
Sedemikian rupa kekuatan media sehingga dalam satu waktu opini pemirsa mudah dibentuk atau diarahkan. Bahkan kekuatan itu pula yang berperan dalam soal pengalihan isu. Isu-isu yang sejatinya layak dipantau serta diperhatikan, dalam hitungan jam atau menit akan cepat terlupakan. Dan perhatian serta merta teralihkan pada isu baru yang mungkin saja tingkat kepentingan atau prioritasnya sebetulnya jauh di bawah isu lama tadi. Kekuatan inipun semakin menjadi setelah didukung kecanggihan teknologi. Sungguh, efek perubahan cepat yang dibawa teknologilah yang semakin menggiring manusia untuk terus cepat bergerak maju, mencari isu-isu baru lainnya, melewatkan pesan-pesan yang mampir di benaknya, menina-bobokan ide-ide yang baru saja muncul di otak; serta yang paling parah adalah melupakan soal-soal pokok yang seharusnya menjadi prioritas dalam hidupnya.
Tentu tak seluruhnya kekuatan media itu berdampak melulu negatif. Layaknya dua sisi mata koin, ia pun secara alamiah memiliki sifat positif agar menjadi seimbang. Dalam banyak sekali hal media berhasil membuktikan kedigdayaan dirinya dengan membuka pintu reformasi dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Tak terhitung pula jumlahnya jasa media dalam soal memperkenalkan ide-ide baru. Entah sudah berapa banyak juga revolusi yang dikobarkan olehnya. Dan rasanya tak perlu kuceritakan lagi bagaimana peran media dalam menjembatani relasi antar satu individu dan individu-individu lainnya. Toh, semua terpulang kembali kepada masing-masing pribadi yang hendak menggunakan. Wayang pada akhirnya akanlah tetap menjadi wayang dan bagaimanapun lakon yang ia jalani, dalanglah yang mengendalikan dari balik layar.
Setiap manusia memiliki reaksi tersendiri terhadap soal-soal semacam ini, berdasarkan instingnya masing-masing. Mustahil rasanya untuk membendung media dalam urusan mengeluarkan berita, pun sia-sia belaka melarang mereka untuk menyebarkan opini. Maka menutup mata dan telinga terhadap serbuan berita-berita baru menjadi pilihan yang sah. Menyaring setiap informasi baru yang akan masuk ke otak menjadi perlu. Ataupun menampung semua kabar terbaru juga diperbolehkan, sepanjang kabar-kabar itu tak menambah mumet isi kepala. Anggap saja seluruh kabar itu sebagai tambahan data yang bisa memperkaya pengetahuan dan imajinasi. Reaksi mana yang hendak dipilih akan kembali kepada keperluan tiap-tiap individu. Mengetahui kebutuhan diri sendiri akan informasi adalah keharusan. Menggaungkan pengetahuan itu ke dalam kebijaksanaan bertingkah laku setelahnya, paling tidak pada hari itu saja, adalah sebuah kemutlakan. Integritas seorang manusia terukur dari apa yang dipikirkan dan setelah itu apa yang dilakukannya. Pandai-pandailah dalam memilah informasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H