Mohon tunggu...
David Tampubolon
David Tampubolon Mohon Tunggu... -

Pembaca, Penulis, Pengamat, Pelaku News and Media analyst on criminal issue

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kegilaan Kampanye Pemilu 2014

6 Maret 2014   21:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:10 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap pagi keluar dari gerbang rumah terlihat poster-poster kampanye para calon legislatif (caleg). Mulai dari tiang listrik, tembok hingga tempat pembuangan sampah kini menjadi arena caleg menempatkan poster-poster dengan berbagai ukuran. Ada yang ditempel ada pula yang digantungkan. Muka-muka mereka sudah disunting sehingga terlihat mulus dan berkilau, tapi tidak bisa diperiksa kualitas sumber daya manusianya. Hanya gambarnya bertebaran tapi orangnya tidak pernah muncul di masyarakat. Inilah kegilaan pertama: pemilih tidak melihat manusia utuh, hanya gambar! itu pun hasil edit dimana warna kulit jadi putih dan tanpa lubang bekas jerawat!

Setiap pagi keluar dari gerbang rumah terlihat poster-poster kampanye para calon legislatif (caleg). Selain gambar muka, ada slogan-slogan promosi. Beberapa yang sempat saya baca sambil lalu dengan sepeda motor kurang lebih, "penjaga amanah", "pilihan gue, terserah gue", "demi keluarga, agama, dan bangsa", "insya Allah, bermanfaat", "bukan janji tetapi bukti", "coblos aku, aku untukmu". Arrrrgghhhh!!!! ini kampanye saya perhatikan kaya tukang jual obat "segala penyakit sembuh" yang biasa berkoar di lampu merah atau di depan masjid hari jumat. Ketika direnungkan malah seperti slogan truk pasir dengan gambar lukis disertai slogan, "buron mertua". Inilah kegilaan kedua: pemilih tidak melihat kerangka nalar, hanya slogan! Itu pun kalimat hampa yang tidak bermakna dan merepresentasikan kinerja legislatif!

Setiap pagi keluar dari gerbang rumah terlihat poster-poster kampanye para calon legislatif (caleg). Kemarin beberapa poster masih utuh, tapi pagi ini beberapa sudah mulai terkelupas, bisa jadi akibat hujan tadi malam. Bisa juga dikelupas atau dicoret-coret iseng oleh cabe-cabean dan terong-terongan sambil kencan di gang gelap, malam tadi. Ada juga poster yang terkelupas, ditimpa dengan poster baru, mungkin akibat serangan subuh tim sukses. Belum lagi poster-poster itu diletakkan asal-asalan, beberapa bagian pengikatnya sudah lepas, miring-miring terhembus angin. Bagaimana bisa dipercaya tidak akan mengotori harapan rakyat, sedangkan menjaga lingkungan tetap elok saja tidak mau! Definitely tidak mau! Sangat sengaja hendak mengotori lingkungan. Padahal dulu di sekolah diajarkan untuk tidak tempel stiker atau tulis/gambar di tembok sembarangan. Eh caleg-caleg ini malah mengajarkan kekurangajaran, perlu di straf. Inilah kegilaan ketiga: mau jadi abdi rakyat dengan mengotori lingkungan!

Setiap malam saya pulang kerja terlihat poster-poster kampanye para calon legislatif (caleg). Dengan banyaknya poster sepanjang jalan dari kantor yang kurang lebih 30 kilometer (ditambah jarak pergi tadi pagi jadi 60 kilometer), entah sudah berapa muka editan dan slogan tanpa makna terekam di otak saya. Bukan menimbulkan ketertarikan, tetapi justru muak, sama seperti makan terlalu banyak dengan menu itu-itu saja. Inilah kegilaan keempat: over-exposed! Menyebabkan muak dan antipati terhadap mekanisme kampanye Pemilu sekaligus calegnya.

Beberapa caleg pun tidak hanya berpromosi lewat poster, mereka pun berkampanye melalui selebaran-selebaran. Beberapa cukup fasih dalam menguraikan visi dan misinya, beberapa lagi berantakan dalam mengurai kalimat. Uniknya ada juga caleg yang punya program. Entah bagaimana ceritanya legislatif punya program kerja seperti bersih-bersih kampung dan penyediaan air bersih (lalu lurah yang mewakili eksekutif kerja apa? jangan-jangan bisa sikut-menyikut ajukan propasal kegiatan). Persoalan bukan di situ, bagaimana kalau seandainya uraian visi & misi itu, dibuatkan oleh penulis bayaran dari lembaga konsultan kampanye? Bisa jadi si caleg hanya manggut-manggut saat diserahkan draft naskah kampanye, lebih parah, si caleg sama sekali tidak tahu kalau dia punya selebaran dengan uraian visi & misi. Sementara kampanye model "ramah tamah-temu kangen" dan caleg diberi kesempatan pidato, barulah si caleg di brief untuk pidato atau belajar mati-matian di depan kaca (sangat mungkin yang menulis naskah pidatonya adalah ghost writer anonym). Ini bisa terjadi karena kehadiran tim sukses (Timses) dan konsultan pemenangan Pemilu. Inilah kegilaan kelima: pemilih tidak bisa menguji kemapuan kerja caleg akibat kampanye artifisial buatan timses dan. "Kasih duit, kampanye beres!" Kalau kalah barulah ketahuan memakai timses dan konsultan, karena berkoar telah dirugikan atau merasa tertipu oleh timses dan konsultan.

Kalau situasinya sudah begini, maka tidak heran kalau rakyat di masa mendatang akan kecewa dengan janji-janji para caleg. Ada-ada saja tudingan masyarakat misalnya, "lupa janji", "berkhianat pada rakyat", "kacang lupa dari kulitnya". Bisa jadi rakyat yang salah, bukan caleg. Rakyat tidak teliti tentang apa yang dijanjikan! Sangat banyak caleg yang tidak menjanjikan apa-apa pada rakyat secara umum (mungkin pada pihak tertentu sudah ada "perjanjiannya"). Coba perhatikan slogan-slogan yang saya tulis di atas, mana yang berupa janji dan komitmen? Tidak ada! Itu hanya kalimat yang tidak bermakna, "demi agama, keluarga dan bangsa" mana janjinya? Tidak dijanjikan apa pun, perhatikan, "demi agama" wujudnya apakah disebutkan? demi keluarga? ya pastilah, korupsi juga kan mengalir di keluarga sekurang-kurangnya gaji mengalir ke anak dan istri, bangsa? ya demi bangsa mungkin maksudnya orang-orang di sekeliling dia dalam wujud komitmen apa ya terserah dia.Pun kalau pernah berjanji memberantas kemiskinan bisa jadi dia sudah menepati, tapi rakyat salah tanggap. Memberantas kemiskinan pun bisa dengan jalan membiarkan si miskin mati kelaparan, sehari mati satu, akan terberantas juga dalam 5 tahun. Rakyat sendirilah yang salah menterjemahkan kalau itu adalah komitmen untuk mengupayakan kesejahteraan. Kalau pun benar berjanji mensejahterakan rakyat, masih ada argumentasi "ya kan pembangunan itu tidak bisa secepat membalikkan tangan, butuh waktu proses dan kerja keras dari masyarakat sendiri untuk mengangkat kesejahteraannya, kita sudah buatkan sistem", mudah bukan? Dan argumen itu benar adanya, andalah yang bertanggungjawab atas kesejahteraan anda dan keluarga. Belum ada atau setidaknya belum menjadi budaya, ketika gagal mengupayakan yang terbaik bagi konstituen maka akan mundur dari kursi legislatif. Inilah kegilaan keenam: caleg dan calon pemilih sama gilanya!

Solusi bagi permasalahan ini hanya bisa ditempuh melalui pembongkaran sistem politik di negeri kita. Sudah saatnya menyingkirkan tradisi-tradisi pengkaderan dengan jalan menjilat dan menyuap. Perlulah kualitas sumber daya manusia diperbaiki bagi yang sudah terlanjur berada di arena politik. Sementara "orang-orang benar" yang ada di dalam sistem politik saat ini harus mendapat dukungan kuat dari masyarakat, karena di dalam sana bisa jadi mereka babak-belur di begal oleh para "pemain" yang hendak memasukkan "barang itu". Kalau sistem yang saat ini berjalan bisa dibongkar, kemungkinan sistem perekrutan kader politik di masa mendatang bisa diperbaiki. Sehingga hanya caleg yang memiliki integritas yang masuk partai, bukan lagi orang berduit semata.

Salam!


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun