Pagi itu, udara sangat dingin. Pada musim kemarau, udara pagi selalu terasa dingin. Rase bangun dari pembaringannya, dia raup 1) dan berkumur. Dia menyiapkan kambing yang akan dijual di pasar. Ditepuknya kepala kambing itu. “Kamu terpaksa aku jual,” kata Rase. Seperti mengerti, kambing itu mengikuti Rase dengan taat ketika Rase menarik tali di lehernya.
“Mak, aku sudah siap,” kata Rase.
Mbok Tamirah keluar dari rumah dengan menggendong tompo 2) berisi lombok untuk dijual. Rase dan ibunya harus segera berangkat sebelum matahari terbit supaya mereka tidak terlambat tiba di pasar.
Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan rombongan dari desa Wadung. Mbok Tamirah dan Rase bergabung dengan rombongan itu. Melakukan suatu perjalanan secara bersama terasa lebih menyenangkan. Sepanjang perjalanan, mereka saling berbincang tentang berbagai hal. Mbok Tamirah sangat senang berbincang dengan suami isteri Sadi dari desa Wadung. Mereka terlibat percakapan tentang anak mereka masing-masing.
“Anak kami, si Ngatiyem, sekarang berumur empat tahun. Dia anak pertama kami. Adiknya, si Ngatinah, baru berumur dua tahun,” kata isteri Sadi.
“Yang menuntun kambing itu anakku satu-satunya. Namanya Rase. Dia ditinggal mati bapaknya sejak dia lahir. Sekarang dia berumur delapan tahun,” balas Mbok Tamirah.
Percakapan berlangsung terus sampai mereka tiba di pasar.
Ketika rombongan itu tiba di pasar Prambon, matahari sedang menyinari bumi dengan cahayanya yang merah kemilau. Mbok Tamirah dan Rase segera menuju pedagang ternak. Mereka menawarkan kambing yang dibawa Rase. Pedagang ternak itu membelinya dengan harga yang sesuai dengan permintaan Mbok Tamirah.
“Ayo kita jual lombok ini,” kata Mbok Tamirah. Dia menuju ke pedagang lombok. Rase mengikutinya. Di dekat pedagang lombok, Rase melihat penjual udheng 3). Dia sangat ingin memiliki selembar udheng. Rase datang mendekat. “Udheng bukan sesuatu yang sangat penting, Le. Kita harus menggunakan uang untuk membeli barang-barang yang penting saja,” kata Mbok Tamirah seraya meyakinkan Rase bahwa dia tidak akan membelanjakan uangnya untuk udheng. Rase tidak mau beranjak dari situ. Mbok Tamirah membiarkan Rase ndodok 4) di depan si penjual udheng.
Seorang lelaki yang mengenakan caping 5) memperhatikan hal itu sedari tadi. Perlahan dia mendekat kepada penjual udheng. Rase memandang kepada lelaki itu secara sekilas. Rase tak dapat melihat wajah lelaki itu dengan jelas karena wajah itu terkena bayang-bayang caping. Lelaki itu memberi uang kepada penjual itu. Mulutnya berkomat-kamit. Penjual udheng mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti dan setuju. Kemudian, lelaki itu pergi.
“Berapa harganya udheng ini, Pak?” tanya Rase.
“Oh, khusus untuk kamu, ambillah mana yang kamu suka. Kamu tidak usah membayar.”
“Lho, benarkah itu?”
“Ya!”
Rase memilih selembar udheng yang sangat dia suka.
Mbok Tamirah heran ketika dia melihat Rase mengenakan udheng baru. “Dari mana kamu mendapat uang untuk membeli udheng itu, Le?” dia bertanya.
“Tidak, Mak. Penjual itu memberikannya kepadaku. Aku tidak perlu membayar. Penjual udheng itu baik ya, Mak?”
Mbok Tamirah melihat ke kanan dan kiri, mencari tahu barangkali ada orang yang dia kenal yang mungkin telah membelikan udheng untuk Rase. Sejauh matanya memandang, tak seorangpun yang patut dicurigai.
Pesan Moral:
Mbok Tamirah dan Rase bergabung dengan rombongan lain, sehingga perjalanan yang jauhpun menjadi menyenangkan. Jika kita melakukan sesuatu bersama orang lain, maka pekerjaan yang beratpun akan menjadi menyenangkan.
--------
1) raup = mencuci muka
2) tompo = keranjang kecil dari anyaman bambu
3) udheng = ikat kepala terbuat dari kain
4) ndodok = duduk
5) caping = penutup kepala terbuat dari anyaman bambu dan berbentuk kerucut
CERITA LAIN DAPAT DIBACA DI Prajurit Telik Sandi Mahapatih Gajah Mada
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H