Rase bermain terlalu jauh ke dalam hutan. Dia mendengar suara seseorang sedang berlatih ilmu kanuragan. Dia ingin tahu lebih jauh. Dia mengintip dari sela-sela semak belukar dan melihat seorang lelaki tua bongkok. Lelaki itu bergerak berputar sambil menendang. Gerakannya begitu cepat sehingga Rase tidak dapat mengikuti gerakan lelaki itu dengan matanya.
Rase kagum terhadap lelaki tua itu. Meskipun sudah tua, lelaki itu masih dapat melakukan gerakan-gerakan dengan sangat lincah. Dia bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan lelaki itu. Manusiakah atau dedemit? Rase merasa takut, tetapi rasa ingin tahu membuat Rase mampu mengendalikan rasa takutnya itu.
“Krosaak!” suara daun-daun kering terinjak kaki-kaki Rase.
Lelaki itu tersentak. Dia menghentikan gerakannya. Dia berdiri diam. Beberapa saat kemudian, lelaki itu mengepalkan jari jemari kedua tangannya, menjulurkannya ke depan bergantian. Kaki-kakinya membentuk kuda-kuda. Beberapa kali dia mengulangi gerakan-gerakannya. Kali ini, dia melakukan setiap gerakan itu dengan lambat, sangat lambat, sehingga Rase dapat mengikuti setiap gerakan itu dengan matanya. Rase memperhatikan lelaki itu, diingatnya setiap gerakan yang dilihatnya. Kemudian, lelaki itu duduk bersila, telapak tangannya ditangkupkan di depan dada. Lelaki itu menarik napas panjang beberapa kali. Kemudian, lelaki itu berdiri, berlari, melompat seperti terbang menuju sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu. Beberapa lama dia tidak muncul kembali.
Rase meninggalkan tempat itu. Dia kembali ke tempat dia menguburkan sepasang klarap. Di situ, Rase mengingat kembali semua gerakan lelaki tua itu. Ada delapan gerakan yang diulang beberapa kali. Rase menirukan gerakan-gerakan lelaki itu seperti yang diingatnya. “Ciaat!! Ciaat!! Ciaat!!” Rase berulang-ulang menirukan gerakan lelaki tua di tengah hutan itu sampai dia merasa lelah.
Matahari telah condong ke barat, Rase menghentikan keasyikannya menirukan olah kanuragan. Dia menghampiri dua ikat rumput yang telah dikumpulkannya, memikulnya, dan pulang.
Setibanya di rumah, segera Rase menuju ke kandang untuk memberi makan kedua kambing piaraannya. Mereka memakan rumput itu dengan lahap. Rase senang. “Tahukah kalian, hari ini aku bertemu orang tua aneh,” kata Rase kepada dua makhluk memamah biak itu. Tentu saja, mereka tidak mengerti apa yang dikatakan Rase. Rase tidak perduli. “Dia itu pandai ilmu kanuragan, dia itu sakti mandraguna.”
“Kamu bicara dengan siapa, Le?1)” terdengar suara Mbok Tamirah dari dalam rumah.
“Tidak dengan siapa-siapa, Mbok,” sahut Rase.
Rase tidak menceritakan kepada ibunya tentang lelaki tua itu. Dia takut ibunya akan kuatir. Rase tidak ingin membuat ibunya menguatirkan dirinya
Malam itu, Rase tidur nyenyak dan bermimpi. Dalam mimpinya, dia sedang berlatih kanuragan yang jurus-jurusnya dia curi dari lelaki tua di tengah hutan. Mengetahui bahwa ilmunya dicuri orang, lelaki tua itu menjadi marah. Dia mengejar Rase untuk meminta kembali apa yang telah dicuri. Rase berlari dan berlari, hingga dia tiba di sebuah jurang.
“Gubraak!” Rase terjatuh dari pembaringan, dia terbangun.
“Maaf, Kakek. Saya tidak bermaksud mencuri ilmu kanuragan milikmu. Saya hanya mengintip, bukan mencuri,” kata Rase. Kemudian, dia kembali tidur.
Pesan Moral:
Sekalipun Rase asyik berlatih ilmu kanuragan, dia tidak lupa waktu. Jangan sampai kita ‘lupa waktu’ dan ‘lupa diri’ karena suatu keasyikan.
--------------------------------
1) le (thole) = sebutan atau panggilan untuk anak laki-laki
CERITA SELENGKAPNYA BISA DIBACA DI Prajurit Telik Sandi Mahapatih Gajah Mada
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H