Mohon tunggu...
David Solafide
David Solafide Mohon Tunggu... lainnya -

'Life is very short and there's no time for fussing and fighting, my friends' The Beatles. Do join English Community http://english-comm.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Rase) Kesaktian Mbah Ganyong

6 Mei 2011   18:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:00 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rase mulai siuman, dia membuka matanya. Didapatinya dirinya terbaring di atas balai-balai bambu di sebuah ruangan yang dinding-dindingnya juga terbuat dari anyaman bambu. Dicobanya mengumpulkan seluruh ingatan terhadap apa yang baru saja dia alami. Dia menjual kambing, seorang pencopet berusaha merampas pundi-pundi uangnya, dia melawan, dia pingsan.

”Uangku!” gumam Rase sembari bangkit dari pembaringan. Pundi-pundi uangnya tergeletak di sampingnya. Rase membuka ikatannya, menghitung, dan menyadari bahwa uangnya tidak berkurang sedikitpun.

Dia mendengar suara di luar. Rase keluar dari ruangan. Di luar, lelaki bungkuk - duduk membelakangi rumah - sedang membelah kayu bakar. Lelaki itu membelah kayu tidak menggunakan kapak atau parang tetapi dia menggunakan sebatang ranting. Rase datang mendekati lelaki itu.

“Hm. Kamu sudah sadar kembali,” kata lelaki tua itu. Dia berhenti dari kegiatannya dan menoleh kepada Rase.

“Ya. Terima kasih sudah menolong saya,” jawab Rase sembari duduk di samping lelaki itu.

“Hm. Siapa menolong siapa?”

“Tadi pagi, saya di pasar Prambon menjual kambing, dan seorang laki-laki hendak merampas uang saya. Saya melawan, tetapi akhirnya saya tak tahu apa yang terjadi, semua menjadi gelap.”

“Bagaimana anak sekecil kamu bisa melawan seorang laki-laki dewasa?”

“Maaf, Kek,” Rase terpaksa menyebut lelaki tua itu dengan sebutan kakek. “Selama empat tahun ini saya selalu datang dan mencuri jurus-jurus Kakek. Dengan jurus-jurus itu, saya pikir, saya dapat mengalahkan lelaki itu.”

“Siapa mencuri apa? Aku tidak pernah merasa sesuatu dicuri dariku. Coba tunjukkan jurus-jurusmu.”

Rase menuruti perintah lelaki tua itu. Dia memperagakan semua jurus yang dia lihat pernah dilakukan oleh lelaki tua itu. Lelaki itu memperhatikan setiap gerakan Rase dengan sungguh-sungguh, manggut-manggut.

“Cukuplah,” katanya. “Siapa namamu?”

“Rase, Kek. Nama saya Rase.”

“Baiklah. Ceritakan kepadaku apa saja tentang dirimu.”

Rase menceritakan kepada lelaki tua itu tentang dirinya bahwa dia seorang anak yatim, ayahnya gugur dalam peperangan melawan pemberontak, ibunya membawa dia pindah ke desa Tluwe karena di desanya dulu Rase sering diolok-olok oleh anak-anak tetangga sebagai anak yang tidak berayah.

“Siapa nama ibumu?”

“Emak saya bernama Tamirah,” jawab Rase.

Lelaki tua itu memandang Rase, tak berkedip. Dia nampak terkejut, tetapi dia mampu menguasai diri. “Teruskan ceritamu,” katanya.

Rase menceritakan tentang kakeknya. “Kakek saya, Mbah Ganyong, itu sakti. Sayangnya, saya tidak sempat bertemu dengan kakek saya. Dia sudah meninggal sebelum saya lahir. Kata Emak, Mbah Ganyong bisa memanjat pohon kelapa dengan cepat seperti terbang. Dia turun dari pohon kelapa hanya dengan naik blarak 1), dia berdiri di atas blarak dan turun ke tanah.”

“Ya, aku tahu ilmu seperti itu.” Berkata demikian, lelaki itu berdiri, kemudian melayang terbang ke puncak sebatang pohon kelapa. Diambilnya dua butir degan 2). Dia melepas sebatang blarak, berdiri di atasnya, dan meluncur turun ke tanah.

Rase terpana melihat apa yang baru saja dilakukan oleh lelaki itu. Dia menghampiri lelaki tua itu. “Kek, ajari saya ilmu itu,” katanya. Lelaki itu memangkas degan dengan menggunakan sebatang ranting. Dia memberikan satu kepada Rase.

“Minumlah,” katanya.

“Kakek mau mengajari saya ilmu tadi?”

“Ilmu yang mana?”

“Ilmu memanjat pohon kelapa seperti Mbah Ganyong.”

“Kenapa?”

“Supaya saya bisa membuktikan bahwa saya adalah cucunya Mbah Ganyong.”

“Hm. Sekarang sudah siang. Pulanglah. Emakmu pasti sedang gelisah menunggu.”

“Terima kasih, Kek. Besok saya akan datang lagi untuk belajar ilmu memanjat pohon kelapa.”

Rase pergi meninggalkan lelaki tua itu yang memandanginya sampai anak laki-laki berumur sepuluh tahun itu tak nampak di kejauhan.

“Kamu sudah besar, sudah besar,” sambil berkata demikian lelaki itu menghela napas dalam-dalam. Sangat dalam.

Pesan moral:

Rase berterima kasih kepada lelaki tua itu yang telah menolongnya. Betapapun kecilnya pertolongan yang diberikan orang lain, kita harus menghargainya.

-----------------------------

1) blarak = daun kelapa yang kering

2) degan = buah kelapa muda

CERITA LAIN TENTANG RASE DAPAT DILIHAT DI Prajurit Telik Sandi Mahapatih Gajah Mada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun