Desa Tluwe dibelah oleh sebuah sungai menjadi kulon kali dan wetan kali. Seperti sungai-sungai lain di wilayah Tuban, sungai ini juga merupakan sungai tadah hujan. Pada musim hujan, air sungai akan mengalir dengan limpah. Sebaliknya, pada musim kemarau, sungai itu sering kekurangan air bahkan sampai kekeringan.
Beberapa hari ini, hujan mengguyur dengan sangat lebat. Air sungai meluap hingga ke tepi-tepinya. Arusnya sangat deras. Beberapa pohon tumbang hanyut dibawa derasnya arus.
Pada saat-saat seperti ini, tidur menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan. Rase sudah tidur pulas sejak matahari terbenam, begitu juga Mbok Tamirah. Menjelang pagi, mbok Tamirah mendengar suara gaduh di luar. Suara ayam berkeok-keok. Sesuatu sedang mengganggu ayam-ayam piaraannya. Perempuan itu bangun dan mencari sumber suara. Dia membuka pintu rumah dan menuju ke kandang yang bersebelahan dengan dapur. Ayam-ayam itu berkeok-keok riuh rendah. Dengan penerangan lampu ublik, Mbok Tamirah melihat seekor ayam sedang berkelojotan. Ditariknya kedua kaki ayam itu, tetapi terasa berat. Dua benda berkilat di bawah cahaya lampu ublik. Sepasang mata! Mbok Tamirah terpana. Dia memperhatikan kedua benda berkilat itu. Benar, sepasang mata.
“Ular!!” perempuan itu menjerit sembari mundur selangkah. Kakinya terasa berat untuk dibawa berlari. Perempuan itu seperti terpaku di tempat dia berdiri.
“Ular!! Tolong …. ada ular!!” kesadaran perempuan itu mulai pulih.
Serta-merta, Rase terbangun dari tidurnya dan segera menuju suara itu. Dia melihat Mbok Tamirah gemetaran – dengan sebuah lampu ublik di tangannya.
Kegaduhan itu mengundang beberapa orang tetangga datang. Seekor ular sebesar batang pohon kelapa memangsa beberapa ekor ayam piaraan Mbok Tamirah. Mengetahui hal itu mereka segera mengambil berbagai senjata untuk membunuh ular malang itu. Rupanya, banjir telah menghanyutkan si ular. Dan karena lapar, ular itu mencari mangsa. Ayam-ayam itu menjadi mangsa pertama yang dia jumpai.
“Ular ini harus dibunuh. Kalau tidak, dia bisa melahap ternak kita yang lain. Bahkan, dia bisa menelan salah satu dari kita,” kata seorang lelaki berbadan tegap.
Beramai-ramai mereka menyerang si ular . Ular malang itu tidak memberi perlawanan, mungkin karena dia kekenyangan setelah menelan beberapa ekor ayam.
Melihat semua yang terjadi, Rase merasa tidak sampai hati. Dia hendak memberitahu orang-orang itu agar tidak membunuh si ular. Tetapi, dia juga tidak yakin dapat mengendalikan binatang melata itu. Memang, Rase belum pernah berkawan dengan ular sawa yang besar tubuhnya seperti batang pohon kelapa. Maka, Rase membiarkan para lelaki itu menjadi hakim dan algojo bagi si ular.
Pagi itu, Rase tidak pergi menemui lelaki tua di tengah hutan untuk belajar ilmu memanjat pohon kelapa. Dia ikut menguburkan ular sawa yang telah menerima hukuman mati itu. Dia berjongkok di dekat kubur itu, air matanya jatuh. Rase menangis.
Pesan Moral:
Rase tidak yakin bahwa dia bisa mengendalikan si ular. Tidak semua hal berada dalam kendali kita.
CERITA LAIN TENTANG RASE DAPAT DILIHAT DI Prajurit Telik Sandi Mahapatih Gajah Mada
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H