Pagi itu, Rase menemui lelaki tua di tengah hutan. Dia menepati janjinya untuk belajar ilmu memanjat pohon kelapa dari lelaki itu. Sebaliknya dari mengajarkan ilmu memanjat pohon kelapa, lelaki tua itu menyuruh Rase untuk mencangkul tanah di sebelah barat pondoknya.
“Lho, Kek. Saya ingin belajar ilmu memanjat pohon kelapa. Kenapa saya harus mencangkul?” tanya Rase, tidak mengerti.
“Kalau kamu tidak mau, kamu boleh pulang,” lelaki tua itu berkata. Suaranya mengandung wibawa.
“Oh, mau Kek. Mau,” cepat-cepat Rase menjawab. Mulailah Rase mencangkul tanah berbatu-batu di antara pohon-pohon jati. Tanah yang basah, karena hujan yang turun beberapa hari terakhir ini, sangat mudah melekat pada mata cangkul. Berkali-kali Rase mencoba membersihkan mata cangkulnya.
Lelaki tua itu membetulkan posisi kuda-kuda Rase ketika mengayunkan mata cangkulnya. Rase harus memegang garan pacul 1) dengan posisi tangan bergantian. Sepuluh kali mengayunkan mata cangkul dengan tangan kanan di dekat mata cangkul dan tangan kiri memegang ujung garan pacul. Selanjutnya sepuluh ayunan mata cangkul dengan posisi sebaliknya.
Dari hari ke sehari, Rase hanya mencangkul dan mencangkul. Lelaki tua itu belum pernah mengajarkan ilmu memanjat pohon kelapa kepadanya. Setelah beberapa hari, lelaki tua itu mengganti garan pacul dengan yang lebih panjang. Dan beberapa bulan kemudian, garan pacul itu diganti lagi dengan yang lebih panjang. Begitu seterusnya, hingga ketika telah berlangsung selama rolas sasi 2), Rase mencangkul dengan menggunakan garan pacul sepanjang lima depa. Latihan mencangkul yang dijalaninya membuat Rase memiliki kuda-kuda yang kokoh, dua lengan yang kuat, dan gerakan yang cepat.
Suatu hari, Rase memperhatikan bahwa tanah tegalan 3) miliknya belum digarap. “Kenapa tanah tegalan kita belum digarap, Mak?” Rase bertanya kepada Mbok Tamirah, ibunya.
“Kita tidak punya orang untuk mengerjakannya. Mereka sedang mengerjakan sawah di dusun Gambiran. Mungkin dua pekan lagi mereka baru bisa mengerjakan tanah tegalan kita.”
Keesokan paginya, sebelum fajar menyingsing, Rase pergi ke tanah tegalan miliknya. Dia mengolah beberapa petak tanah tegalan itu. Dengan latihan mencangkul yang dilatihnya selama ini, Rase dapat menyelesaikan mencangkul tanah tegalan itu dalam waktu yang sangat singkat. Ketika orang-orang lain berangkat ke sawah dan tegalan milik mereka, Rase telah selesai mencangkul semua tanah tegalan miliknya.
Rase pulang dan memberitahu Mbok Tamirah bahwa tanah tegalan di dekat hutan itu sudah siap untuk ditanami. Tentu saja, perempuan itu terkejut, senang. Segera dia menyiapkan benih untuk ditanam di sana.
Rase tidak membantu menanam benih, dia justru pergi menemui lelaki tua di tengah hutan. Dia menceritakan apa yang baru saja dilakukannya. Lelaki itu manggut-manggut, tanpa sepatah kata.
Setelah berdiam beberapa lama, lelaki itu berkata, “Ambil cangkulmu. Lepaskan mata cangkulnya.” Rase menuruti perintah itu.
“Bayangkan bahwa mata cangkul itu masih melekat di garan itu. Sekarang, cangkullah tanah di sebelah timur pondok.”
Mencangkul hanya dengan garan dan tanpa mata cangkul? Bagaimana mungkin? Rase tidak mau perduli. Dibayangkannya bahwa di ujung garan yang dipegangnya masih melekat mata cangkul. Dia mulai mencangkul.
Pesan moral:
Rase melatih jurus garan pacul selama setahun, dan dia menjadi mahir. Seseorang yang melatih suatu ketrampilan dengan bersungguh-sungguh dan terus menerus akan menjadikan dia mahir.
----------------------
1) garan pacul = gagang cangkul terbuat dari kayu
2) rolas sasi = dua belas bulan, satu tahun
3) tegalan = ladang
CERITA LAIN TENTANG RASE DAPAT DILIHAT DI Prajurit Telik Sandi Mahapatih Gajah Mada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H