Mohon tunggu...
David Solafide
David Solafide Mohon Tunggu... lainnya -

'Life is very short and there's no time for fussing and fighting, my friends' The Beatles. Do join English Community http://english-comm.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Rase) Agni Sang Dewa Api

18 Mei 2011   17:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:29 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mbok Tamirah menyuruh putranya, Rase, untuk pergi ke Jatirogo. Di sana ada beberapa petak sawah Mbok Tamirah. Dia menyewakannya untuk jangka waktu sepuluh tahun. Kinilah saatnya, Mbok Tamirah berhak mengambil kembali miliknya. Perempuan itu bermaksud menjual sawah-sawahnya di desa di mana Rase dilahirkan itu. Uang hasil penjualan sawah itu akan dia belikan sawah juga, di desa Tluwe.

Rase pergi menuju Jatirogo desa yang dia tinggalkan sepuluh tahun yang lalu. Jatirogo memang cukup jauh dari Tluwe, tetapi dengan ilmu kanuragan yang dipelajarinya selama ini, Rase dapat menempuhnya dalam waktu singkat, tidak sampai setengah hari. Tidak banyak yang berubah di desa itu, kecuali adanya beberapa rumah baru.

Lelaki muda berumur enam belas itu segera menuju rumah kediaman Keluarga Madi – penyewa sawahnya Mbok Tamirah - dan menjelaskan maksud kedatangannya. Ini cukup mengagetkan bagi Keluarga Madi. Mereka bukan bermaksud untuk tidak mengembalikan sawah-sawah itu kepada pemiliknya, tetapi mereka tidak mengenal Rase. Mereka tahu bahwa putra Mbok Tamirah bernama Rase, tetapi apakah pemuda yang mengaku bernama Rase ini benar-benar Rase putra Mbok Tamirah?

Mereka menolak permintaan Rase karena mereka takut salah orang. Mereka akan mengembalikan sawah-sawah itu jika Mbok Tamirah sendiri yang datang. Rase menjadi tersinggung karena tidak dipercaya bahwa dia adalah anak Mbok Tamirah. Tersinggung, terhina, meradang, marah. Sepanjang perjalanan pulang, Rase melampiaskan kemarahannya pada benda-benda di sekitarnya, batu, pohon, semak-semak, ……

Rase tidak langsung pulang, dia pergi kepada gurunya. Lelaki tua itu mendengarkan penuturan Ras dengan seksama. “Api, salah satu unsur alam, akan berguna hanya jika dia dikendalikan. Ketika api tak terkendali, dia akan menimbulkan kerugian,” lelaki itu berkata.

“Di dalam diri manusia, api itu bisa berwujud kemarahan atau dendam. Ini harus dikendalikan. Marah tidak boleh ngawur. Jika api kemarahan itu menyatu dan terkendali, dia bisa menjadi tenaga yang dahsyat. Api juga bisa berwujud kasregepan, semangat. Ini juga harus dikendalikan, sebab, tanpa kawruh kasregepan uga ora maedahi, sarta kang kesusu iku bakal kleru jangkahe. 1)”

Rase menyimak setiap kata yang diucapkan gurunya. Kemudian lelaki tua itu berdiri, Rase juga. “Sekarang, keluarkan amarahmu dari hatimu, biarkan mengalir melalui seluruh nadimu, kumpulkan dalam genggamanmu. Nah, lepaskan!”

“Dhuuarr!” Sebuah batu besar menjadi korban, pecah berantakan. Rerumputan di sekitar batu itu hangus terbakar.

Rase melatih jurus mengendalikan api, sepanjang sisa hari itu. Amarahnya telah hilang. Dia telah dapat mengendalikan amarahnya yang tadinya membara seperti api. Setelah amarahnya hilang, Rase mengalami kesulitan untuk melatih jurus yang baru saja dipelajarinya itu. “Jurus ini memerlukan api. Karena api amarahmu telah padam, sekarang nyalakan api yang lain, api semangat,” lelaki tua itu berkata.

Sepanjang sisa hari itu, Rase bermain api. Menguasainya, mengendalikannya. Api amarah dan api semangat, silih berganti. Rase menjelma menjadi Agni Sang Dewa Api.

Pesan Moral:

Api amarah tidak boleh menguasai kita tetapi kita yang menguasai dan mengendalikannya. Betapa dahsyatnya kekuatan api yang dikendalikan.

------------------------------------------------

1) Wulang Bebasan 19.2 = Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik; orang yang tergesa-gesa akan salah langkah.

CERITA RASE LAINNYA ADA DI PRAJURIT TELIK SANDI MAHAPATIH GAJAH MADA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun