Suatu niat yang baik, jika dilakukan dengan cara yang tidak tepat, di tempat yang tidak tepat, dan pada waktu yang tidak tepat, akan menghasilkan atau berakibat sesuatu yang tidak baik. Kata-kata ini saya kutip dari seorang dosen kami dulu. Apakah beliau mengutip kata-kata tersebut dari orang atau sumber lain, saya tidak tahu. Tapi, itu tidak penting.
Jika Anda ingin bisa bernyanyi, misalnya, itu adalah niat yang baik. Tetapi, jika Anda melakukannya dengan berteriak keras-keras (cara yang tidak tepat), di rumah sakit (tempat yang tidak tepat), di tengah malam (waktu yang tidak tepat), maka hasilnya adalah Anda akan disetrum karena dianggap mengalami gangguan kejiwaan. Jelas bahwa niat yang baik harus dilakukan dengan cara, di tempat, dan pada waktu yang tepat.
Tanpa bermaksud membongkar kembali kehebohan yang terjadi hari Minggu yang lalu, saya mengundang para sahabat Kompasianer untuk menyimak mengapa bisa terjadi huru-hara, hiruk-pikuk, dan riuh-rendah tersebut yang terjadi di rumah sehat kita ini. Diawali oleh niat baik Komp. Johan Wahyudi untuk mengingatkan para Kompasianer agar tidak membohongi pembaca dengan judul-judul tulisan yang bombastis namun isinya tidak sesuai dengan judulnya. Sungguh, ini adalah sebuah niat baik. Sayangnya, sang motivator itu menambahkan dengan pernyataan bahwa judul-judul tulisan bombastis itu hanya berisi opini atau fiksi. Hal ini diperburuk lagi oleh pernyataan guru Bahasa Indonesia yang gemar menggunakan kata ganti ‘aku’ itu bahwa fiksi hanyalah akan menjadi fiksi dan tidak boleh diakui sebagai kebenaran.
Komp. Johan Wahyudi menabur angin, dan beliau telah menuai badai. Badai kritik, sanggahan, cemoohan, bahkan (mungkin) hujatan. Saya juga terseret arus (tepatnya: emosi), sehingga saya mengunggah tulisan ‘Inilah Tulisan Fakta DR. Johan Wahyudi, Hargailah’ yang berisi tulisan-tulisan beliau dengan judul-judul bombastis yang isinya hanyalah intermezo – fiksi.
Niat saya, mungkin, tidak baik. Saya menunjukkan keanehan dan ketidak-konsistenan Komp. Johan Wahyudi, yang menyatakan tidak menyukai fiksi tetapi yang juga menulis fiksi. Dengan bukti-bukti tersebut, yang bersangkutan sama sekali tidak menampakkan diri untuk menjelaskan antara perkataan (pernyataannya bahwa beliau tidak suka fiksi) dan perbuatan (beliau menulis fiksi dan bahkan menerbitkan buku tentang bagaimana menulis fiksi). Orang yang perkataan dan perbuatannya tidak selaras biasanya disebut munafik.
Karena yang bersangkutan tidak juga menampakkan diri, saya menjadi jengkel. Dalam sebuah komentar, saya menulis bahwa Johan Wahyudi sedang bersembunyi di bawah tempurung, kembali menjadi katak dalam tempurung. Ini, tentu saja, bukanlah cara yang tepat untuk menegur atau menyampaikan kritik pada seseorang. Forgive me Lord, dan forgive me Pak Johan. Tetapi, hujatan yang kejam itu ada juga hasilnya. Pak Johan muncul di inbox akun saya. Panjang lebar beliau menjelaskan apa yang ingin beliau jelaskan. Walaupun saya tidak puas dengan penjelasannya, saya memutuskan untuk menyudahi saja kasus perkara no: 1313 ini.
Paling tidak, ada akibat yang positif dari gonjang-ganjing dan goro-goro ini. Lihatlah, Pak Johan tidak lagi menggunakan kata ganti ‘aku’ tetapi ‘saya’. Semoga ini mencerminkan kerendahan hati yang sebenarnya.
Jadi, niat baik harusnya dilakukan dengan cara yang tepat, di tempat yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Semoga bermanfaat. (ds)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H