Ririn duduk gelisah di teras rumahnya. Dia sedang menunggu kekasihnya, Agung. Sudah satu setengah jam Ririn menunggu, Agung belum juga datang. Ririn mencoba menghubungi lewat ponsel, tak ada jawaban. Cewek berambut sebahu itu mulai kesal. Ini sudah yang keempat kalinya Agung tidak menepati janji. Jika dalam lima belas menit lagi Agung tidak datang, Ririn akan ketinggalan nonton filem kesayangannya. Lima belas menit berlalu, Agung tidak juga menampakkanbatang hidungnya. Kekesalan Ririn telah sampai di ubun-ubun, segera meledak.
“Pasti si Buaya itu selingkuh. Dia pasti ngapelin dengan cewek lain,” Ririn menggerutu seorang diri. “Awas nanti kalau dia datang, akan kusantet dia.” Ririn memaki, menyumpah, dan mengutuk seperti biasanya. Mulutnya selalu penuh sumpah serapah.
Lewat dua jam dari waktu yang ditentukan, Agung tiba. Tergopoh-gopoh dia mendatangi Ririn. Tetapi, Ririn menyambutnya dengan wajah cemberut.
“Maaf, aku terlambat, Sayang,” kata Agung mengiba.
“Dasar buaya darat, buaya keparat!” Ririn mendamprat, ludahnya muncrat.
Tiba-tiba, mulut Agung memanjang, terus memanjang menyerupai mulut seekor buaya. Dalam waktu sekejap, dari kepala hingga perut, Agung berubah menjadi buaya. Kedua tangan dan kakinya tetap tangan dan kaki manusia.
“Akk …, akkk …. “ Agung, si buaya itu, ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia tidak bisa mengeluarkan suara apapun.
Ririn kaget bukan kepalang, karena sumpah serapahnya Agung berubah menjadi manusia setengah buaya. Ririn menyesal kenapa dia tidak menyumpahi Agung dengan, “Dasar kelinci lucu!” Tetapi terlambat, Agung telah berubah menjadi buaya. Penyesalan tiada guna.
Si buaya ingin membisikkan sesuatu kepada Ririn, dia mendekatkan moncongnya ke telinga cewek berambut sebahu itu. Rasa takut yang luar biasa merayap di hati Ririn. Dia mundur se tapak. Buaya itu terus mendekatkan moncongnya ke telinga Ririn. Ririn mundur lagi sampai dia tak bisa mundur lagi. Di belakangnya ada tembok. Ririn terpojok, terpepet, terjepit.
Karena ketakutan, keringat membasahi T-shit Ririn yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu. Buaya itu seperti tidak perduli, dia tetap hendak mendekatkan moncongnya ke telinga Ririn.
Terpojok dan takut menyebabkan Ririn bertindak nekat dan di luar nalar. Dia menampar si buaya. Mendapat tamparan di moncong kiri, si buaya hendak memberikan moncong yang satunya lagi. Ririn tidak menyia-nyiakan kesempatan, ditamparnya moncong kanan si buaya.
Si buaya merasa lega. Dia hendak mengatakan sesuatu. Dia membuka mulutnya, lebar, sangat lebar. Ririn berpikir si buaya akan menggigit atau menelan dirinya. Ririn berteriak, namun tak ada suara. Dia mencoba berteriak lebih keras, tetap tak keluar suara.Ririn meronta, tetapi seperti tak bertenaga. Ririn mencoba melarikan diri, tetapi dia tak berdaya, tulang-tulangnya serasa lepas semua. Kaki-kakinya seperti terpaku di lantai.
Tiba-tiba, Ririn merasakan celana jeans yang dipakainya basah, Ririn ngompol. Akhirnya, Ririn berhasil melepaskan diri dari si buaya. Dia lari. Dia terus berlari sekencang-kencangnya. Dia berlari sambil memejamkan mata. Dia tersandung.
“Gubrak!!” Ririn terjatuh. Buaya itu menimpa wajahnya. Masih memejamkan mata, Ririn memegang moncong buaya itu. Buaya tak bergerak, diam, lunak. Ririn membuka mata. Buaya itu telah tiada. Di tangannya, Ririn memegangi bantal guling. Lega. Ketika dia hendak kembali tidur, dilihatnya bahwa kasurnya basah, begitu juga baju tidurnya. Ngompol ternyata bukan hanya dalam mimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H