Lelaki bertopeng itu melemparkan pisau belatinya ke arah Rase yang sedang tidur. "Jlebb." Pisau itu menancap. Tak ada gerakan, tak ada suara. Lelaki itu mendekat ke pembaringan. Diambilnya kembali pisau belati yang menancap pada bantal. Rase tak ada. Tiba-tiba, lelaki bertopeng itu melompat dan bersalto di udara. Sebuah serangan mendadak berupa senjata rahasia mengarah kepadanya. Lelaki itu kemudian menangkis setiap senjata rahasia yang mengarah ke bagian-bagian tubuhnya yang mematikan.
Rase, yang tadi mendengar suara mencurigakan, terbangun dari tidurnya. Di dalam kegelapan malam, Rase melihat seorang lelaki bertopeng berusaha membuka jendela. Rase beringsut, turun dari pembaringan dan menempelkan badannya pada bagian dinding yang gelap. Ketika dilihatnya lelaki itu melemparkan sebilah pisau belati ke arah tempat dia berbaring, tahulah Rase bahwa lelaki ini seorang duratmoko, seorang penjahat. Di dekatnya, Rase merasakan sebuah karung berisi biji jagung, diambilnya beberapa butir biji jagung dan dijadikannya senjata rahasia.
Lelaki itu masih sibuk menangkis dan menghindar dari serangan senjata-senjata rahasia. Akhirnya, dia melompat ke luar melalui jendela yang terbuka. Rase mengejarnya. Dengan gerakan ringan, Rase melompat ke luar.
Lelaki itu menunggunya. Belati telah dia selipkan di pinggangnya. Kini lelaki itu memegang sebuah tongkat yang dari tadi terselip di punggungnya, di bawah caping. Rase telah kehabisan senjata rahasianya. Di dekatnya, ada sebatang pohon waru. Rase melompat dan, sebelum dia melayang turun, sebatang ranting telah berada di tangannya. Rase menyerang lelaki itu. Ranting beradu dengan tongkat. "Bambu kuning," Rase menggumam setelah merasakan getaran dari tongkat itu.
Lelaki itu tidak menjawab, sebaliknya, dia melakukan serangan mengarah ke kepala Rase. Bocah sebelas tahun itu terkesiap. Ini adalah serangan berbahaya. Lelaki itu benar-benar ingin membunuh. Rase mundur beberapa langkah, dibayangkannya ranting di tangannya adalah sebilah pedang, disalurkannya semua tenaganya ke arah ranting, ditangkisnya serangan itu. "Crok," tongkat bambu kuning itu terpotong menjadi dua.
Lelaki bertopeng itu nampak kaget. Kini, dengan dua potongan tongkat, lelaki itu menyerang. Satu potongan tongkat mengarah ke ulu hati dan satunya ke tenggorokan. Rase menangkis serangan itu, ranting di tangannya bergerak berputar ke atas dan ke bawah. Lelaki itu menarik potongan tongkat bambu kuningnya, rupanya dia tidak ingin mengadu potongan tongkatnya dengan ranting di tangan Rase.
Lelaki itu mundur beberapa langkah, berbalik, dan melompat di kegelapan malam, melarikan diri. Rase hendak mengejarnya, tetapi dia urungkan niatnya. Rase teringat nasehat gurunya, lelaki tua di tengah hutan, "Musuh yang melarikan diri tidak perlu dikejar. Dengan melarikan diri berarti dia mengaku kalah. Musuh yang telah mengaku kalah atau menyerah, tidak boleh diserang. Kamu harus bisa belajar memaafkan musuhmu, karena suatu saat mungkin kamu juga perlu dimaafkan."
Rase menghela napas panjang. "Kakek benar," gumamnya sambil berjalan menuju jendela, melompat masuk, menutup jendela itu, dan hendak kembali tidur. Tetapi, Rase sudah tidak bisa memejamkan matanya. Sesuatu mengganggu pikirannya. Lelaki itu. Dicobanya mengingat kembali lelaki yang mencoba membunuhnya itu. Caping! Ya, caping itu mengingatkannya pada kejadian di pasar Prambon beberapa tahun yang lalu. "Ah, dia lagi. Apa maunya? Apa yang diinginkannya?"
Pesan Moral:
Lelaki tua itu menasehati Rase agar dia bisa memaafkan orang lain karena kelak dia juga perlu dimaafkan oleh orang lain. Ketika kita memaafkan orang lain, kita juga akan dimaafkan.
CERITA LAIN TENTANG RASE DAPAT DILIHAT DI Prajurit Telik Sandi Mahapatih Gajah Mada.