Mohon tunggu...
David Solafide
David Solafide Mohon Tunggu... lainnya -

'Life is very short and there's no time for fussing and fighting, my friends' The Beatles. Do join English Community http://english-comm.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Rase) Copot Eh Copet

5 Mei 2011   17:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:02 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rase sering menemani ibunya ke pasar Prambon. Pasar ini disebut pasar Wage, karena itu hanya pada saat Wage pasar ini ramai oleh pedagang dan pembeli. Sedikitnya setiap dua kali Wage, Rase menemani ibunya ke pasar untuk menjual hasil bumi dan membeli keperluan sehari-hari.

Waktu terus berjalan, dua tahun telah berlalu sejak Rase pertama kali diajak oleh Mbok Tamirah ke pasar Prambon. Kini, Rase telah berumur sepuluh tahun. Selama waktu itu, Rase selalu pergi ke hutan di sebelah barat desa setiap pagi. Dia mengintip setiap jurus ilmu kanuragan yang dilakukan lelaki tua di tengah hutan itu. Kemudian dia melatihnya di dekat makam sepasang klarap. Dan, setiap kali Rase melakukan gerakan yang salah, dia selalu merasa kesemutan pada bagian-bagian tubuhnya.

Suatu hari, Mbok Tamirah menyuruh Rase untuk pergi ke pasar menjual dua ekor kambingnya. Rase harus pergi sendiri karena Mbok Tamirah harus mengurus ladang. Dia harus menyiapkan segala sesuatu: benih untuk ditanam dan makanan untuk para tetangga yang membantu menanam padi.

Setiap kali Rase akan ke pasar, dia selalu berpamitan kepada binatang-binatang yang biasa bermain dengannya di hutan. Dia berharap agar mereka tidak menunggu kedatangannya di hutan hari itu. Kali ini, dia juga berpamitan kepada mereka.

”Kamu sudah tahu pedagang ternaknya, Le. Jadi, kamu hanya menyerahkan kambing-kambing itu kepadanya, dan dia akan membayar dengan harga yang telah kami sepakati,” kata Mbok Tamirah.

“Baik, Mak. Aku mengerti. Emak tenang saja.”

Setibanya di pasar, Rase langsung menuju pedagang ternak, menyerahkan kambing-kambingnya. Pedagang ternak itu memberikan beberapa keping uang kepadanya. Rase memasukkan keping-keping uang itu ke dalam sebuah pundi-pundi, mengikatkan talinya erat-erat.

Tiba-tiba, dari belakangnya, sebuah tangan terulur hendak mengambil pundi-pundi dari tangan Rase. Anak laki-laki berumur sepuluh tahun itu menyadari datangnya bahaya. Dipegangnya ujung pundi-pundi itu dengan erat. Sementara itu, dia menggerakkan sikunya ke belakang mengarah perut pencopet itu. Orang itu mundur sedikit, maka serangan Rase dapat digagalkannya. Bersamaan dengan itu, tanggannya berhasil merebut pundi-pundi dari tangan Rase.

Rase membalikkan badan. Seorang lelaki bercaping sedang memegangi pundi-pundi Rase. “Kembalikan!!” Rase membentak.

Lelaki itu mendekatkan pundi-pundi ke arah Rase. Mulut lelaki itu komat-kamit, tetapi tak ada suara yang terdengar. Rase menyambar pundi-pundinya. Lelaki bercaping itu menariknya kembali. Dia seperti hendak mempermainkan Rase. Anak laki-laki itu menjadi marah.

“Kembalikan uangku!!” bentaknya sekali lagi.

Orang-orang yang melihat peristiwa itu hanya tertawa-tawa. Mereka menganggap ini hanya sebuah lelucon.

Rase bersiap melakukan serangan. Dikepalkannya kedua tinjunya. Ditinjunya lelaki bercaping itu persis di ulu hati. Rase telah melatih jurus ini ratusan bahkan ribuan kali, dia yakin lelaki itu tak akan bertahan terhadap pukulannya ini. Lelaki itu berkelit dengan memiringkan tubuhnya. Kembali serangan dapat digagalkan. Rase melanjutkan serangannya dengan tendangan. Sebelum tendangan Rase sempat mengenai perutnya, lelaki bercaping itu melemparkan pundi-pundi ke arah Rase. Perhatian Rase terpecah, antara meneruskan tendangannya atau menangkap pundi-pundi. Tangannya hendak menangkap pundi-pundi, tetapi keseimbangannya menjadi goyah. Lelaki bercaping menangkap kaki Rase dan memutarnya. Rase jatuh terjerembab, tetapi dia berhasil menangkap pundi-pundinya.

Rase berdiri menghadapi lelaki bercaping. Lelaki itu mendekatinya. Terpaksa Rase melakukan serangan lagi. Lelaki itu mengulurkan tangannya, dan tiba-tiba Rase merasakan sesuatu menekan belakang lehernya. Semua menjadi gelap. Rase pingsan.

Pesan moral:

Ilmu Rase yang belum matang tak dapat dia pakai untuk melawan si pencopet. Ilmu yang kepalang-tanggung sering kali tidak memberi manfaat yang maksimal.

CERITA LAIN DAPAT DILIHAT DI Prajurit Telik Sandi Mahapatih Gajah Mada

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun