Mohon tunggu...
David Rikardo (191221019)
David Rikardo (191221019) Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas AIrlangga

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga angkatan 2022

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Childfree Sedang Ramai! Bagaimana Eksistensinya?

16 Maret 2023   10:48 Diperbarui: 16 Maret 2023   11:00 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Childfree di Indonesia bukanlah fenomena baru.

Ketidakhadiran anak menjadi perbincangan hangat di media sosial. Namun, ketiadaan anak bukanlah konsep baru di Indonesia. Beberapa pasangan suami istri memiliki alasan tersendiri dalam memutuskan untuk tidak memiliki anak meski telah menikah selama bertahun-tahun.

Childfree sebenarnya bukan hal baru di luar negeri. Namun, istilah tersebut justru menimbulkan banyak perdebatan, yang sering disepelekan di Indonesia. Menurut Profesor Bagong, perbedaan tanggapan tersebut disebabkan oleh perbedaan penghargaan masyarakat terhadap hak. Menurut dosen yang berulang tahun 6 September itu, masyarakat asing sangat menghormati hak privat dan otonomi personal. Sedangkan di Indonesia, masyarakat dianggap lebih mengutamakan hak-hak kelompok.

Tidak memiliki anak atau tidak ingin memiliki anak semakin umum terjadi di Indonesia. Fenomena ini mulai semarak. Banyak publik figur dan akademisi yang juga tertarik dengan topik ini, salah satunya Youtuber bernama Gita Savitri yang mengangkat fenomena ini ke publik. Ketiadaan anak ini menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat terkait kebebasan bereproduksi.

Childfree di Indonesia bukanlah fenomena tersembunyi.

Sementara itu, alasan kedua adalah adanya hasrat untuk meniti karir. Dalam perjalanan meraih kesuksesan karir, Prof. Bagong menyebut tidak sedikit perempuan yang menganggap bahwa hadirnya seorang anak menjadi rintangan tersendiri. “Kalau dibilang alasan childfree adalah karena masih banyak anak yang terlantar atau tidak ingin menambah populasi di bumi, saya rasa itu rasionalisasi dan bukan alasan sesungguhnya,” pungkasnya.

“Saya sejak kecil tidak pernah membayangkan akan punya anak, itu tidak pernah jadi impian saya, bukan salah satu dari goals saya. Dan suami saya tahu itu dan saya selalu tanya dia, dia juga oke,” kata Devi Asmarani, pencetus Magdalene, media bilingual yang berpusat pada isu perempuan dan gender.

Childfree di Indonesia bukanlah fenomena yang terstigmatisasi.

Jika direfleksikan di Indonesia terdapat pergeseran budaya dalam memandang kelahiran anak. Masyarakat tradisional memandang pihak yang tidak ingin memiliki keturunan terganggu secara mental dan tidak bahagia. Ajang pernikahan juga turut menjadi celah untuk munculnya konflik. Pasalnya pernikahan yang dilakukan bukan hanya sekadar mengikat dua individu, tetapi juga dua keluarga yang memiliki harapan ke depannya. Konflik dapat timbul ketika keputusan untuk tidak berketurunan ditepis oleh salah satu keluarga, dan dapat memperburuk hubungan yang ada.

Jika menilik anak dalam kehidupan rumah tangga di berbagai negara, anak umumnya dianggap sebagai salah satu pelengkap kebahagiaan. Hal ini sejalan dengan riset yang dilakukan Universitas Diponegoro mengenai kehadiran anak yang memiliki pengaruh penting dalam keluarga. Dalam penelitian tersebut didapatkan eksistensi seorang anak dapat meningkatkan kepuasan dan menguatkan komitmen pernikahan.

Dalam berbagai studi disebutkan bahwa bagi pendukung childfree, di antara yang mendorong keputusan seseorang untuk tidak memiliki anak ialah, dalam rangka mencapai keadilan gender dan orientasi karier kaum perempuan. Secara keseluruhan, para peneliti telah mengobservasi bahwa para pasangan yang memilih childfree lebih berpendidikan. Mungkin karena hal ini, mereka cenderung ingin dipekerjakan dalam bidang manajemen dan profesional, pada kedua belah pihak atau pasangan untuk mendapatkan penghasilan yang tinggi dan untuk tinggal di area urban (Doyle et al, 2013, Clarke, Victoria, et al, 2018).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun