Mohon tunggu...
David Pratama
David Pratama Mohon Tunggu... Koki - siap grak

tukang tidur, tukang ngopi, tukang nyantai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makan Bersama Keluarga Adalah Surga yang Paling Sederhana

30 Agustus 2016   16:42 Diperbarui: 30 Agustus 2016   17:02 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Makanan sesederhana apapun jika disantap bersama-sama (apalagi bersama keluarga tercinta) akan terasa jauh lebih nikmat. Sebaliknya, makanan seistimewa apapun kalau kita memakannya sendirian, akan berkurang kenikmatannya. Saya teringat setiap kali berkunjung ke rumah simbah di Gunung Kidul, Yogyakarta, selalu dihidangkan masakan khas desa : sayur lombok hijau, tempe, tahu, dan rempeyek teri. Terus terang saja saya kurang begitu berselera dengan menu khas desa tersebut. Kurang menarik bagi saya. Akan tetapi ketika kami menyantapnya bersama-sama, di sinilah rahasia kenikmatannya. Dengan nasi hangat yang pulen, kami pun menyantapnya dengan begitu lahap. Kebersamaan inilah yang membawa kenikmatan tersendiri.

Makan adalah saat di mana kita menerima berkat dari Tuhan. Berkat itulah yang menghidupi kita. Dengan makan bersama keluarga, kita diingatkan akan adanya sebuah pemeliharaan yang senantiasa ada dari Sang Pencipta di tengah-tengah keluarga kita. Jadi makan bersama keluarga itu bukan hanya sebuah sarana menjalin komunikasi horisontal, tetapi lebih dari itu, kita diingatkan akan komunikasi vertikal antara manusia dengan Sang Pencipta.

Saya adalah seorang Kristen Protestan. Makan bersama merupakan bagian yang banyak dijumpai di dalam Kitab Suci. Sebut saja perjamuan Paskah bangsa Israel yang merupakan makan bersama keluarga sebagai wujud keprihatinan sekaligus rasa syukur mereka sebelum meninggalkan tanah Mesir.

Dalam kehidupan Gereja, tradisi itu diteruskan dengan Perjamuan Kudus, makan roti dan minum anggur bersama-sama sebagai bagian dari keluarga Tuhan. Yesus sendiripun berulangkali memecah-mecah roti dan membagi-bagikannya untuk orang banyak yang berkumpul dan dimakan bersama-sama. Meskipun hanya roti, tetapi kebersamaan inilah yang mendatangkan kenikmatan.

Saya seringkali diundang berbuka bersama di bulan Ramadhan dan halal bihalal saudara-saudara yang beragama Islam. Di sana pun saya jumpai makan bersama-sama. Meskipun tidak ikut menjalankan puasa tetapi saya merasakan suasana kekeluargaan yang sangat akrab dan hangat tatkala mengikuti berbuka bersama. Meskipun hidangan berbuka bisa dikatakan sederhana, tetapi kami menyantapnya dengan penuh kenikmatan berbalut suasana kekeluargaan.

Alangkah indahnya apabila makan bersama ini menjadi sebuah tradisi keluarga kita. Banyak sekali nilai-nilai moral yang terkandung dari makan bersama keluarga. Bukan masalah apa yang kita makan, tetapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita membangun ikatan mesra dengan anggota keluarga kita dan mengecap betapa luar biasanya pemeliharaan Tuhan Sang Pencipta Semesta. Dengan makan bersama kita akan merasakan kehadiran surga yang sederhana. Apa yang ada ya itulah yang harus disyukuri. Dengan makan bersama pulalah konflik bisa terselesaikan. Hubungan yang retak bisa terpulihkan. Ketika kita mengambil nasi dari tempat yang sama, tak ada lagi beda antara kita. Kita akan mengecap rasa yang sama, kita akan menikmati berkat yang sama.

Sudahkah surga yang sederhana itu hadir di rumah kita? Sudahkah surga yang sederhana itu hadir di tegah masyarakat kita?

https://www.facebook.com/david.p.putra.9

https://twitter.com/daviddinivio

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun