Mohon tunggu...
David Pratama
David Pratama Mohon Tunggu... Koki - siap grak

tukang tidur, tukang ngopi, tukang nyantai

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Penemuan Api, Penemuan Cita Rasa

28 April 2016   09:23 Diperbarui: 28 April 2016   09:41 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

diambil dari www.meat-fire.com

Apakah yang membedakan antara manusia dengan binatang? Memasak! Manusia diberi kemampuan untuk mengubah yang alami atau mentah menjadi matang dengan memasaknya. Dengan memasak, manusia tidak lagi sama dengan binatang yang memakan makanannya apa adanya.

Massimo Montanari merujuk adanya mitologi Yunani Titan Prometheus untuk menghantarkan pembaca, betapa perjumpaan manusia dengan api merupakan sebuah anugerah yang penuh pengurbanan. Dikisahkan dalam mitologi itu, pada jaman dahulu api hanyalah milik para dewa di nirwana. Manusia keadaannya sungguh hina. Tubuhnya telanjang dan memakan apa saja yang dijumpai tanpa memasaknya - hampir tidak ada bedanya dengan binatang. Karena rasa iba, akhirnya Prometheus mencuri api khayangan untuk diberikan kepada manusia. Ia pun mengajarkan bagaimana untuk berburu dan menggunakan api untuk penghangat serta memasak. Mengetahui perbuatan Prothomeus tersebut, maka murkalah Zeus - sesepuh para dewa. Akhir cerita, Prothomeus mendapatkan hukuman, tubuhnya diikat di batu dan hatinya dimakan burung elang. Akan tetapi pengurbanan Prothomeus membuahkan hasil. Manusia dapat mengendalikan api dan memasak sehingga derajatnya menjadi lebih tinggi dari pada hewan.

Dari mitos ini, Montari ingin menjelaskan bahwa perjumpaan manusia dengan api adalah awal mula manusia menemukan identitasnya yang tidaklah sama dengan makhluk yang lain. Api yang tadinya hanya dimiliki para dewa, menggambarkan betapa benar-benar ada kesenjangan kehidupan antara khayangan yang penuh dengan kenyamanan dengan dunia yang penuh kehinaan. Hidangan kuliner yang memiliki cita rasa tinggi hanyalah untuk para dewa saja. Di saat para dewa berpesta dengan kehangatan api dan keezatan masakan, manusia hidup sama seperti layaknya hewan. Saat Prothomeus mencuri api, memberikan kepada manusia, dan mengajarkan manusia untuk menguasai api, di sinilah awal mula manusia merasakan kenikmatan nirwana. Manusia dapat menikmati kuliner sama seperti apa yang dinikmati para dewa setelah perjumpaannya dengan api.

Setelah itulah manusia dapat berkarya sebebas-bebasnya dengan api dalam menentukan cita rasanya. Pak Mahatma Anto (dosen arsitektur UKDW Yogya) mengatakan batasan matang itu adalah masalah kultural.

"masak itu mengubah status: dari mentah menjadi mateng. tapi di situ masalahnya. apa yang kita sebut sebagai mateng, atau masak? ini perkara kultural. tiap kelompok budaya tertentu punya anggapannya sendiri-sendiri mengenai batas antara mentah dan mateng. yang pasti, batas itu adalah kesepakatan mengenai apa yang pantas dan tidak pantas untuk masuk ke dalam tubuh melalui proses makan dan minum. diteruskan dari generasi ke generasi, kesepakatan itu menjadi tradisi yang dipegang untuk jadi panutan." - dari catatan “MASAK”

Perjumpaan dengan api ternyata membawa manusia kepada evolusi cita rasa. Bahkan memasak akhirnya bukan lagi sekedar untuk mengenyangkan perut semata, tetapi menjadi sebuah aksi yang menentukan status sosial. Dalam tradisi China kuno dibedakan antara memasak (cooking) dengan menciptakan masakan (creating cuisine). Pengertian pertama (cooking) hanyalah cukup dengan mematangkan bahan makanan dengan tujuan untuk menganyangkan perut. Sedangkan pengertian kedua (creating cusine) bisa digolongkan sebuah seni di mana dalam memasak bukan asal jadi dan enak, tetapi juga dipertimbangkan segi artistik dan estetikanya. Proses cooking banyak dijumpai di warung-warung pinggir jalan di mana juru masak hanya memiliki pemikiran, pelanggan kenyang - rejeki datang. Sedangkan untuk creating cusine hanya ada di kalangan istana dan para bangsawan karena ini bukan hanya sekedar mematangkan masakan agar menjadi lezat, tetapi bagaimana hidangan yang tersaji dapat “berbicara” mengenai filsafat dan keindahan.

Penemuan api ternyata berlanjut kepada penemuan cita rasa, dan penemuan cita rasa berbuntut kepada penentuan strata kehidupan sosial manusia. Penemuan api mengangkat harkat kehidupan manusia, dan penemuan api pun juga menjadi sekat dalam kehidupan manusia. Entahlah... api yang dicuri oleh Prothomeus merupakan berkat atau justru laknat bagi manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun