Yesus sebagai guru memiliki perbedaan yang mencolok dengan para filsuf Yunani kuno dalam metode pengajaran dan pandangan hidupnya. Meskipun terdapat perbedaan yang signifikan, ada juga persamaan dalam tujuan moral dan transformasi pribadi yang mereka ajarkan kepada para murid.
Yesus, dalam ajarannya, sering menggunakan perumpamaan dan kisah-kisah yang sederhana namun mendalam untuk menyampaikan ajaran moral dan rohaniah. Metodenya lebih cenderung kepada cerita-cerita yang dapat dipahami oleh orang awam, dengan tujuan agar pesan yang disampaikannya mudah diresapi oleh berbagai kalangan. Yesus juga sering memberikan ajaran dalam bentuk nasihat langsung yang bersifat pribadi dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Yesus diilustrasikan sebagai sosok yang proaktif dalam mencari murid-muridnya. Dalam Injil, kita melihat bagaimana Yesus mendekati orang-orang secara langsung, mengajak mereka untuk meninggalkan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari mereka, dan mengikuti-Nya. Misalnya, ketika Yesus bertemu dengan para nelayan seperti Simon Petrus dan Andreas, Dia mengajak mereka untuk "mengikuti-Nya" dan menjadi "penjala manusia" (Matius 4:19).
Di sisi lain, pada zaman filsuf-filsuf Yunani kuno, banyak calon murid yang mencari guru untuk mendapatkan pengajaran. Para filsuf seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles sering menjadi objek pencarian para pemuda yang ingin belajar dari kebijaksanaan mereka. Calon murid akan mendekati filsuf dan mengajukan pertanyaan atau menyatakan keinginan mereka untuk belajar.
Filsuf-filsuf seringkali sangat hati-hati dalam memilih murid karena mereka tahu bahwa mengajarkan filsafat tidak hanya tentang memberi informasi atau keterampilan, tapi juga membentuk cara berpikir, nilai-nilai, dan pandangan hidup seseorang. Mereka memilih murid berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, mereka ingin memastikan murid bisa memahami dan menerapkan konsep-konsep filsafat yang kompleks. Kedua, mereka mencari murid yang memiliki komitmen dan dedikasi tinggi untuk sepenuhnya terlibat dalam proses pembelajaran filsafat. Selain itu, filsuf memperhatikan integritas moral dan etika calon murid, karena filsafat bukan hanya ilmu pengetahuan, tapi juga melibatkan pandangan hidup. Kesesuaian filosofis dan kemampuan murid dalam berkontribusi dalam diskusi dan mengajukan pertanyaan yang menantang juga menjadi faktor penting. Para filsuf mencari murid yang memiliki keberanian intelektual untuk mempertanyakan keyakinan dan norma-norma yang ada, menciptakan lingkungan pembelajaran yang dinamis dan kritis. Mereka melihat murid-murid sebagai penerus yang akan menyebarkan dan menerapkan pemikiran filsafat di masa depan, sehingga pemilihan murid dianggap sebagai investasi dalam pengembangan filsafat itu sendiri.
Praktik Yesus dalam memilih murid juga menonjol dengan kontrast terhadap filsuf-filsuf pada masa itu. Sementara sebagian besar filsuf Yunani kuno dicari oleh calon murid, Yesus aktif dalam mencari dan memilih murid-murid-Nya. Pilihan ini mencerminkan pesan Yesus tentang pemulihan dan transformasi, karena banyak murid yang dipilih-Nya berasal dari latar belakang yang beragam dan mungkin dianggap tidak layak oleh norma masyarakat saat itu.
Pemilihan murid oleh Yesus bukan hanya tindakan otoritatif, tetapi juga menggambarkan panggilan khusus dan misi ilahi yang dibawa-Nya. Melalui pemilihan ini, terbentuklah hubungan spiritual dan rohaniah antara Yesus dan murid-murid-Nya, yang menjadi landasan bagi pengajaran dan ajaran-Nya yang mendalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H