Menemukan Hakikat Kemahasiswaan
Mahasiswa harus kritis,militan dan radikal,
Baca buku dan diskusi dan juga demonstrasi..
Mungkin sebagian mahasiswa, khususnya aktivis mahasiswa, familiar dengan lirik lagu perjuangan di atas. Ya, lagu tersebut sejatinya merefleksikan semua kegiatan yang harus dilakukan oleh mahasiswa selama masa perkuliahannya. Mahasiswa yang dijuluki agen perubahan memang sudah sewajibnya memiliki sikap peduli dan kritis terhadap lingkungan aktivitasnya, syukur-syukur terhadap negaranya.
Selain gelar kehormatan sebagai agen perubahan ( agent of change), mahasiswa juga mendapat julukan yang tidak main-main yakni dengan melekatnya kata “maha” pada kata mahasiswa. Bayangkan saja, tidak pernah ada sejarahnya maha dosen ataupun maha rektor atau maha menteri. Mahasiswa hanya bisa “dikalahkan” oleh dua maha, yakni mahaguru alias profesor dan –tentu saja- Maha Esa alias Tuhan. Sungguh suatu gelar prestisius yang tidak semua orang bisa dengan gampang memperolehnya.
Pergerakan Mahasiswa
Namun bila kita bandingkan kualitas kekritisan mahasiswa zaman pasca- Reformasi dengan mahasiswa sebelum Reformasi bisa dibilang bak langit dan bumi. Mahasiswa sebelum reformasi seperti angkatan sekitar ’66, ’74 dan ’98 tidak hanya memikirkan studinya, melainkan juga memikirkan kondisi negara dan bangsanya. Mereka juga tidak segan-segan menyuarakan aspirasinya melawan pemerintahan yang dianggap menzalimi rakyat dan koruptif.
Tokoh-tokoh mahasiswa yang melegenda seperti Soe Hok Gie, Ahmad Wahab (’66), Hariman Siregar(’74), Budiman Sujatmiko,dan Dita Indah Sari (’98) bahkan berani menentang rezim yang berkuasa pada saat itu dan membawa perubahan yang sangat masif bagi kemaslahatan rakyat. Di tengah ketakutan sebagian besar rakyat akibat pemerintahan yang represif, senior-senior kita tersebut malah dengan gagah berani membela kepentingan rakyat dengan tidak memedulikan ancaman-ancaman baik fisik maupun psikis yang dialamatkan pada mereka, seperti teror terhadap keluarga, penjara, dan penyiksaan oleh aparat waktu itu.
Dan memang semangat atau spirit perjuangan mereka murni dilakukan untuk kepentingan rakyat pada saat itu. Bahkan banyak di antara merea yang diculik aparat dan sampai sekarang tidak diketahui rimbanya seperti yang dialami Wiji Thukul sang aktivist ’98.
Kontras dengan para seniornya yang banyak menyumbangkan pikiran dan perhatian kepada negaranya, mahasiswa pasca-Reformasi,khususnya mulai angkatan awal 2000-an, justru sepertinya cenderung “lebih berfokus” untuk cepat-cepat menyelesaikan perkuliahannya dan mendapat pekerjaan sesegera mungkin tanpa terlalu peduli tentang situasi negaranya. Jumlah mahasiswa yang rela menyumbangkan pemikiran dan konsentrasinya terhadap kondisi bangsa dan negara bisa dibilang relatif sedikit jika dibandingkan dengan masa sebelum Reformasi.
Bahkan yang lebih ironis lagi, banyak mahasiswa sekarang yang menyikapi secara sinis jika ada aktivis yang turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasinya. Sikap pragmatisme seperti inilah yang sebenarnya secara tidak langsung semakin membuat nyaman para pejabat yang tidak amanah dan koruptif. Walaupun harus diakui juga bahwa banyak mahasiswa sekarang yang tidak menyadari esensi dari demonstrasi sebagai salah satu instrumen demokrasi, yakni dengan berdemonstrasi secara destruktif.
Penyebab Pragmatisme
Namun sikap pragmatisme mahasiswa sekarang juga sebenarnya bukanlah sepenuhnya salah mereka. Pemerintah memiliki porsi yang paling besar terhadap sikap tak acuh para mahasiswa tersebut.
Pemerintah nampaknya sangat menyadari bahayanya sikap kritis dan sadar akan lingkungan para agen perubahan tersebut, hal ini didasari dari pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi seperti Malari 1974 dan Reformasi 1998. Akibat dari Malari adalah diterapkannya NKKBN oleh Menteri Pendidikan Daoed Jusuf pada 1978 yang melarang mahasiswa berpolitik praktis dan bahkan memata-matai kegiatan kemahasiswaan. Biarpun begitu, para aktivis mahasiswa pada zaman itu rupanya pantang menyerah dan secara “bergerilya” mengadakan diskusi-diskusi tentang pemerintahan Orde Baru.
Dan akibat dari pola pikir kritis tersebutlah, walaupun sudah dikekang, terjadilah Gerakan Reformasi ’98. Reformasi pada dasarnya adalah gerakan yang terakumulasi dari kekacau-balauan kehidupan rakyat di segala dimensi, baik itu dimensi ekonomi, keamanan,maupun hukum. Mahasiswa yang sudah tidak tahan lagi melihat bobroknya pemerintahan Orde Baru menggalang persatuan untuk menumbangkan rezim represif tersebut.
Dan pemerintah pun nampaknya sangat belajar atas peristiwa tersebut. Buktinya adalah pemerintah pun mengubah kurikulum kampus dengan menitikberatkan pada pemadatan perkuliahan dan pembatasan tahun perkuliahan sehingga membuat waktu dan konsentrasi mahasiswa hanya tertuju pada bagaimana lulus secepatnya dengan IPK tinggi dan mendapat pekerjaan. Dengan pola pikir di atas maka bisa dipastikan mahasiswa tidak lagi memiliki waktu untuk bersikap kritis terhadap pemerintah.
Jika demikian adanya, maka mahasiswa sudah tidak layak lagi disebut agen perubahan karena telah dengan sengaja bersikap tidak acuh terhadap kondisi bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H