Perusahaan tambang merupakan salah satu diantara bidang usaha yang dimanjakan oleh Indonesia, pemerintah daerah selalu memamerkan hasil keuntungan ekonomi secara global meskipun secara realitanya mereka menutup mata akan kerusakan lingkungan dan pendapatan masyarakat sekitar tambang. Bahkan perubahan lahan Tumpak Pitu sempat berdampak buruk pada salah satu wisata andalan Banyuwangi yaitu Pulau Merah, yang berubah menjadi lautan lumpur saat musim hujan
Berdasarkan video diatas, maka patut kita ketahui berbagai kerugian lingkungan yang didapat akibat pertambangan emas yang berada di tumpang pitu.
Pemilik atau pengurus pertambangan Tumpak pitu menclaim bahwa pertambangan tersebut adalah jenis pertambangan ramah lingkungan, dan mereka tidak menggunakan air tanah sehingga mereka menampung air hujan selama satu tahun.
Namun dengan menghilangkan pegunungan, dan berbagai ekosistem penutup lahan atau tumbuhan di tumpang pitu maka secara tidak langsung mereka membuat air tanah menjadi kering, karena tidak ada lagi penyerapan air hujan kedalam tanah akibat gundulnya hutan dan hilangnya perbukitan kars. Maka kerugian yang dialami masyarakat sekitar adalah kehilangan sumber air bagi kehidupan sehari-hari. Padahal jika Kita mampu berfikir lebih bijak, air lebih berharga dari pada emas
Pertambangan Tumpang Pitu juga dianggap berada pada titik vital sebuah wilayah, dimana mereka menghilangkan barier alam pelindung tsunami. Padahal pembangunan sebuah wilayah seharusnya mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pemerintah pusat telah menetapkan wilayah pesisir Selatan jawa merupakan zona yang rentan terhadap bencana tsunami, sedangkan berdasarkan sejarah kebencanaan wilayah selatan banyuwangi ini pernah mengalami bencana tsunami yaitu pada tanggal 3 Juni 1994
Dengan adanya pembongkaran perbukitan melalui aktifitas pertambangan emas PT BSI, selain berpotensi merusak keseimbangan ekosistem kawasan, juga sebagai tindakan kontradiktif Negara terhadap upaya menurunkan resiko bencana di Indonesia.
Selain itu pertambangan ini juga mengabaikan kepentingan rakyat. Beberapa kali terjadi demo warga sekitar pertambangan dan berakhir penjara bagi penggeraknya, dengan alasan mengancam atau mengganggu aktivitas pertambangan.
Ketika orang Kaya merampok orang miskin disebut bisnis
Dan ketika orang miskin melawan disebut kekerasan
Namun bagaimana segerombolan orang akan melakukan demo atau unjuk rasa jika tidak dilatar belakangi kerugikan oleh pemerintah setempat maupun pertambangan. Warga banyak menolak karena khawatir lingkungan rusak, seperti sungai (sumber air) tercemar. Belum lagi, ancaman pada lahan tani kekurangan air bersih sampai potensi bencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H