Aku ingin sekali menulis tentang sesuatu malam ini. Menulis sesuatu yang jelas, bukan sesuatu yang tak jelas ala ungkapan Syahrini (alhamdulillah ya sesuatu banget).
Baiklah, aku akan menulis tentang seseorang. Saat aku menulis tulisan ini, dia mendekat kepadaku dan mengambil sebatang rokok. “Bagaimana kalau aku menulis tentangmu malam ini? Tanyaku. “Silahkan saja, tulislah yang baik-baik dan gagah-gagah tentangku” jawabnya.
Kurang lebih 15 tahun yang lalu aku mengenalnya. Sebuah perkenalan tanpa jabat tangan. Perkenalan yang mengalir apa adanya. Dari proses pertemanan yang rabun kemudian menjadi kedekatan yang terang. 15 tahun yang lalu itu, dia salah seorang kakak kelas di sekolahku (SMA Plus INS Kayutanam). Aku pernah kagum kepadanya karena memiliki kemampuan dan prestasi dalam kecakapannya menggunakan Bahasa Inggris. Selain itu, gaya berjalannya yang unik masih tampak hingga sekarang. Gaya berjalan yang memiliki perpaduan gerak antara langkah kaki dan lambaian tangan yang khas.
Saat itu dia lebih dekat dengan almarhum Ayi (Heri Efianto). Ayi adalah “saudaraku” cucu dari teman Ayahku di Bengkulu. Ayi-lah yang mengajakku untuk melanjutkan sekolah di SMU Plus INS Kayutanam. Ayi merayuku. Katanya sekolah itu indah. Ada kolam renangnya. Ada lapangan sepakbola. Ada lapangan basket. Lapangan tenis. Pokoknya, Ayi bilang bahwa aku tak akan menyesal sekolah di sana.
Aku kembali teringat kebersamaan terakhir bersama Ayi di kampus STSI Padang Panjang. Senyum, sapa, dan gaya bicaranya masih terbayang. Kalimat terakhir Ayi sebelum wafat masih terngiang ditelingaku. "Vid, kalau ambo ke Jakarta, ambo ke tempek kau yo". Nada bicaranya memelas. Aargh...dukaku mengeras jika teringat pertemuan terakhir itu.
Sudahlah, aku tak sanggup melanjutkan kisah ini. Barangkali akan kulanjutkan nanti. Nanti, adalah ruang waktu yang tak tentu. Aku terlarut mengenang Ayi. Maafkan aku belum mampu meneruskan tulisan tentang sesuatu mengenaimu, Fauzan. Tak perlu kutulis sesuatu yang baik-baik dan gagah-gagah tentangmu malam ini. Saat ini sudah terlalu banyak tokoh yang suka menggelembungkan diri. Memang, menjadi terasa lucu dan ganjil ketika ketokohan begitu membosankan.
Kini, sangat jarang penulis biografi. Sebab selama ini kita hanya peduli kepada nama, kepada barang, sedangkan biografi menyelam jauh ke dalam ketokohan yang hanya menggelincirkan kita ke dalam kelisanan, omong-omong, gosip, bukan diskusi. Juga kemalasan, mungkin kelumpuhan menghadapi masalah. Menulis kisah hidup keseorangan, termasuk tentangmu juga sebuah karya. Karya yang mesti dibaca dan selalu ditafsir ulang.
Tapi, aku tak akan secara ekstrem mengatakan seperti apa yang pernah dikatakan oleh Levi- Strauss, bahwa tugas ilmu-ilmu kemanusian, humanities, bukanlah melestarikan (konsep tentang) manusia, keseorangan, melainkan melenyapkannya. Aku tahu, kali ini, barangkali masih menulis tentang pribadi, belumtentang pemikiran. Mungkin, suatu saat nanti aku akan menulis tentang pemikiranmu yang berserak dalam status facebookmu.
David Krisna Alka
Menteng Dalam, 19 September 2011
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI