Menjelang peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus, ada satu tradisi penting yang dilakukan Presiden Republik Indonesia. Tradisi itu adalah menyampaikan pidato kenegaraan sebagai arah kompas bangsa di tanggal 16 Agustus.
Pidato tersebut berisi kebijakan, program, capaian, isu aktual, dan perkiraan tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia dalam setahun kedepan.Â
Singkatnya, Presiden akan menyampaikan arah gerak bangsa Indonesia langsung di hadapan MPR, Â DPR, DPD, sebagai perwakilan rakyat dan tentunya didengar oleh seluruh rakyat Indonesia melalui media elektronik.
Terlepas dari ketidaksempurnaan Pemerintahan zaman orde baru, Presiden Soeharto memiliki  arah bangsa 5 tahunan. Kita mengenalnya dengan sebutan Repelita atau rencana pembangunan lima tahun.Â
Bagi saya yang menyukai hal yang terencana, Repelita ini sangat penting. Meski tidak mendetail, kita jadi tahu secara makro akan ke mana.Â
Namun sejak era reformasi, Repelita ini ditiadakan sejak aturan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) dihapus pada amandemen UUD 1945.
Amandemen tersebut sarat nuansa politik. Upaya mereduksi kekuasaan MPR sehingga MPR tidak lagi mempunyai wewenang untuk menetapkan GBHN.Â
MPR tidak bisa lagi "mendikte" Presiden melalui GBHN-nya. Walaupun sebetulnya ini tidak pernah terjadi, pada zaman Soeharto, MPR ikut apa kata Presiden.
Adanya GBHN diharapkan mengunci pembangunan nasional agar tidak dilaksanakan dengan kehendak pribadi Presiden berkuasa, melainkan melalui perencanaan yang tersusun secara matang.
Banyak pandangan menyuarakan perlunya menghidupkan kembali GBHN. Terhapusnya kewenangan MPR menetapkan GBHN dianggap menjadi dilema terhadap perencanaan pembangunan negara padahal GBHN dianggap sebagai fondasi perencanaan pembangunan nasional.