Sejak kasus terbunuhnya Brigadir J mencuat ke publik, saya mengikuti pemberitaan yang selalu memenuhi ruang publik. Spekulasi dan ragam opini publik berhamburan di media massa, juga di media sosial. Namun saya memilih tidak mengomentari.Â
Penyidikan itu tidak mudah
Saya paham betul, kerja-kerja penyidik itu tidak mudah. Penyidik bekerja untuk membuat terang suatu perkara. Dalam dunia penyidikan untuk harus bisa menjawab unsur 'si adi demen babi' (siapa, apa, dimana, dengan apa, mengapa, bagaimana, bilamana) atas suatu perkara pidana. Bayangkan bagaimana rasanya si penyidik polri harus memeriksa rekannya sendiri. Berpangkat lebih tinggi dan  juga paham teknik penyidikan. Ibarat ikan yang ingin dipancing dengan umpan, sudah mengenali umpannya. Repot kan!
Seseorang yang memahami alur penyidikan akan menjawab seadanya. Dijawab seminim mungkin. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kesalahan berbicara. Tidak ada hak penyidik untuk memaksakan terperiksa untuk menjawab. Terperiksa bisa saja menjawab lupa atau tidak tahu. Mau bilang apa.Â
Singkat kata, penyidik harus pintar-pintar menyusun pertanyaan untuk menjebak atau membuat terperiksa berbicara.
Pertanyaan harus mampu mengarahkan jawaban agar terperiksa memberikan informasi. Ragam pertanyaan tersebut bisa berupa: (1) pertanyaan pengandaian, (2) pertanyaan mengarahkan, (3) pertanyaan terbuka, (4) pertanyaan tertutup, (5) pertanyaan retoris, dan (6) pertanyaan menggali. Tidak mudah memang tugas sang penyidik. Perlu waktu untuk mengumpulkan kepingan puzzle. Apalagi ada unsur hambatan psiko-hirarki dan psiko-politis sebagaimana diungkapkan oleh Menko Polkam, Mahfud MD.
Kasus ini memang unik. Jikapun Brigadir J betul bersalah, perkaranya sendiri batal demi hukum atau gugur tidak bisa dilanjutkan karena pelaku atau tersangka sudah meninggal dunia. Berita acara pemeriksaan tidak akan pernah bisa dibuat. Lah orangnya sudah meninggal bagaimana cara memeriksanya. Berkas perkara tidak akan bisa dilengkapi. Jadi laporan kasus pelecehan itu pun tidak akan pernah sampai ke pengadilan.
Biarlah penyidik bekerja dengan profesional dan kita tunggu hasilnya. Prosesnya hukum masih panjang. Setelah penyidikan selesai, tersangka ditetapkan, masih ada proses penuntutan oleh Jaksa, kemudian maju ke persidangan di pengadilan. Hakim yang menentukan pihak mana yang patut divonis bersalah.
Hilangnya empati demi mengeruk cuan
Dalam tulisan ini saya sebetulnya ingin mengkritik hilangnya empati para netizen. Pembuat konten berita. Pembuat podcast dan semua yang berujung pada spekulasi yang tidak berujung. Berita yang muncul sejak konferensi pers oleh Polres Jaksel semua mengarah kepada adanya pelecehan seksual. Akibatnya ada penembakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa Brigadir J. Sial sekali almarhum, sudah tewas, dituduhkan pula sebagai tersangka pelecehan. Sedangkan si penembak, yang kabarnya Bharada E, malah dianggap pahlawan. Seakan E berhak menghabisi nyawa J dengan timah panas.
Jika misalkan E tertembak, terancam nyawanya, dan terpaksa membela diri dengan membalas tembakan, sangat masuk akal. Kita pun sama, misalkan ada perampok yang ingin membunuh kita, ya kita lawan. Daripada kita yang mati, tentu kita membela diri. Urusan dia terbunuh, itu tidak pernah direncanakan. Namun tidak ada indikasi demikian di pemberitaan. Ini janggal.