Keluhan uang kuliah mahal sebetulnya hal klasik. Bukan pula hal baru yang mendadak viral. Â Tidak adil jika dalam kampus yang sama, anak keluarga miskin harus membayar uang kuliah dengan besaran sama dengan anak keluarga kaya.Â
Saat saya baca lebih lanjut, penerapan uang kuliah tunggal (UKT) sebetulnya baik. Mahasiswa membayar uang kuliah sesuai dengan kemampuan ekonomi orangtua.Â
Jika berasal dari keluarga mampu, maka diterapkan kelas UKT yang lebih tinggi. Namun bagi yang tidak mampu, UKT boleh 'nol' rupiah. Fair!
Saat berkuliah di tahun 2000-an, orangtua saya yang petani harus membayar uang kuliah yang sama besar dengan orangtua kaya. Rasanya tidak adil. Meskipun waktu itu uang kuliah di UGM baru Rp 1,25 juta per semester. Itu pun orangtua saya mesti pontang-panting mencarikan uang kuliah.Â
Seringkali terlambat mengirim belanja bulanan. Mungkin di kampung, mereka harus 'gali lobang tutup lobang' mencari hutangan. Sedikit banyak hal ini membuat tidak tenang menjalani kuliah. Ada rasa minder juga.Â
Ada saat ketika merasa galau, lanjut kuliah atau berhenti saja. Namun, akhirnya saya memutuskan untuk tidak menyerah. Saya ajukan permohonan beasiswa setiap kali ada pengumuman lowongan beasiswa.Â
Dulu ada beasiswa Supersemar, beasiswa Djarum, beasiswa Tanoto, dan beasiswa lainnya. Banyak pengajuan saya dan semua ditolak. Namun, dasar keras kepala dan dipaksa keadaan, terus saja saya ajukan aplikasi beasiswa.Â
Pada tahun kedua, saya akhirnya mendapat bantuan beasiswa senilai uang kuliah per semester. Berlanjut hingga tahun ketiga dan keempat. Kemudian pada tahun terakhir, saya mendapat tambahan beasiswa asing sekitar 600 US Dollar.Â
Uang itu lantas saya belikan komputer bekas untuk keperluan mengerjakan ragam tugas-tugas kuliah.Â