Curhat para guru
Pada satu grup WhatsApp keluarga, saya menbagikan tulisan sebelumnya yang menjadi Artikel Utama, yaitu: Maaf Bu Guru, Hari Ini Anak Kami Absen Dulu juga Ayah, Kami Bosan Belajar Online Tiap Hari!
Beragam komentar muncul. Kebetulan yang berprofesi guru banyak dalam keluarga besar kami. Akhirnya keluar juga curhatan-curhatan pengalaman menjadi guru selama penerapan Belajar Dari Rumah (BDR) atau Pembelajaran Jarak Jauh (PPJ).
Ada yang mengeluhkan bahwa selama pandemi, belajar online ini membuat ibu guru tidak sempat memasak untuk keluarganya di rumah. Jika beli makanan dari luar, akan menambah pengeluaran.Â
Ada juga yang membuat video rekaman bahan ajar berulang-ulang, gegara ada "suara bocor" dari pesawat lewat dan kereta api lewat, karena rumahnya di dekat rel dan dekat bandara. Waktu tersita karena harus mengulang lagi dan lagi.Â
Ada juga yang mengungkapkan kuota internet sangat boros saat mengajar online. Berjam-jam mengajar live dengan video conference bisa menghabiskan kuota 5 Gigabyte per hari. Lalu ada juga siswa yang mematikan fitur video saat belajar online, lantas ditinggal main game oleh siswanya. Seolah tidak menghargai guru yang mengajar.
Ada juga yang curhat, gaji akan dikurangi 10% agar yayasan sekolah tetap bertahan, mengingat banyaknya tunggakan uang sekolah siswa yang belum dibayar.
Saya membayangkan, tidak hanya guru di keluarga kami, namun hal ini juga dialami guru-guru di tempat lain. Bahkan kesulitan-kesulitan yang lebih dari itu. Jadi susah payah demi PJJ ini pun dialami para guru.
Kurikulum belajar darurat pandemi
Keadaan terkini memberi sinyal bahwa perlu ada suatu pola pembelajaran yang mampu menjembatani tingginya ekspektasi orangtua dan siswa terhadap belajar online yang berkualitas. Orangtua berharap bahwa belajar online ini tidak sekadar melaksanakan kewajiban belajar dari si anak dan kewajiban mengajar para guru.Â
Orangtua juga berharap anak-anaknya tidak hanya dibebani tugas, yang dirasa memberatkan, menambah beban bagi orangtua karena minimnya penjelasan cara pengerjaannya. Anak-anak menjadi bosan dan jenuh saat pelajaran tidak lagi menarik bagi mereka. Ini perlu ada terobosan baru.
Kurikulum darurat pandemi perlu dibuat, agar guru-guru pun punya ruang untuk menyesuaikan. Tidak terpaku pada pakem kurikulum masa biasa sebelum pandemi. Misalnya jam mengajar boleh dikurangi agar siswa tidak harus berjam-jam di depan layar ponsel atau laptop. Kan berbahaya juga untuk kesehatan mata sang guru atau murid-muridnya.