Dalam pengungkapan cinta, bisa saja cukup diungkapkan dengan sekadar “aku cinta padamu”. Tapi saya memilih mengungkapkan dengan “aku ingin mencintai dengan sederhana.” Hal ini terungkap dalam wawancara dengan majalah Balairung UI, tahu 2018, Sapardi menceritakan bagaimana dia memilih diksi dalam puisi Aku Ingin.
Sapardi Djoko Damono, atau lebih dikenal Sapardi, sosok sastrawan Indonesia yang melegenda. Layak sejajar dengan misalnya sastrawan sekelas HB Jassin, Taufiq ismail, atau WS Rendra. Sapardi lahir sebagai seorang penyair yang identik dengan kesederhanaan. Semua terungkap lewat cara bertutur dalam puisi-puisinya, maupun dalam keseharian.
Sapardi yang lahir di Surakarta, 1940, telah menulis puisi sejak remaja. Sosoknya dikenal luas melalui puisi-puisinya yang mengolah tema-tema abadi seperti cinta, ketuhanan dan kematian. Seorang sastrawan yang familiar dengan karya tulisan larik-larik sederhana namun menyimpan makna yang begitu sangat dalam. Selalu mampu merebut tempat dihati para pembaca setia pecinta literasi.
Bahkan karyanya juga dikenal di luar negeri. Beliau pernah mendapat penghargaan dari Malaysia. Tidak mengherankan, sebab beliau sastrawan berlatar belakang akademik, menempuh pendidikan sastra di Universitas Gadjah Mada. Beliau sempat mengajar di Universitas Diponegoro, sebelum pindah ke Jakarta. Terakhir beliau sebagai dosen sastra di UI sekaligus menjabat Dekan Fakultas Sastra UI antara tahun 1995-1999. Bapak Prof. Dr.Sapardi Djoko Damono.
Aku Ingin
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abuAku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Kebanyakan memang puisi yang ditulis oleh Sapardi, sarat dengan nuansa cinta. Berikut top 5 puisi cinta paling romantis karya beliau: Aku Ingin, Pada Suatu Hari Nanti, Hanya, Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta, Menjenguk Wajah di Kolam. Saya membaca berulang kali dan rasanya berani mengatakan, beliau ini 'raja gombal' melalui romantisme dalam larik puisinya. Para gadis akan baper membaca puisinya ini, apalagi sedang kasmaran. Jika tidak percaya, silahkan baca sendiri. Hehe
Sapardi tidak melulu menulis puisi cinta, ada juga kritik sosial dalam karyanya. Sang maestro yang berlatar belakang pengajar ini, juga menyisipkan kritik-kritik sosial. Misalnya dalam syair puisi Berjalan Ke Barat Di Waktu Pagi Hari
Waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
Puisi seakan mengatakan bahwa waktu dan kehidupan ini terus berjalan. Alangkah baiknya jika kita bisa hidup beriringan, menjaga hubungan yang baik dengan alam semesta. Hidup berdampingan tanpa harus merusak (lingkungan) dan merugikan (manusia) satu sama lain.