Abu di dahi..Â
Hanya debulah aku...di alas kaki-Mu Tuhan.. Hauskan titik embun..sabda penuh ampun...
Demikian penggalan syair lagu yang biasanya dilantunkan saat Rabu Abu, mengawali masa prapaskah. Selalu saja saya merinding dibuatnya, pun tanpa terasa air mata jatuh menitik. Betapa saya orang berdosa di hadapan Tuhan.
Saya mengawali masa prapaskah dengan menerima abu di dahi, di  St. John the Evangelist Chapel, gereja kecil dalam komplek Australian National University, Canberra. Abu yang 'ditempelkan' di dahi ini selalu mengingatkan, dari sana kamu kuciptakan, dan kesana jua lah kamu nanti.Â
Ibadah online..
Kemudian masih sempat menghadiri dua misa pertama masa prapaskah di Gereja Katedral St. Christopher-Canberra, sebelum adanya pembatasan social distancing, semua ibadah pun dilangsungkan secara online, hingga saat puncaknya perayaan Paskah. Pertama kali mengikuti misa online ini, memang merasa kurang pas. Tidak lengkap rasanya jika tidak menyambut hosti kudus. Tidak biasa. Aneh. Itu yang awalnya saya rasakan.Â
Mungkin ini hal yang juga murid-murid-Nya rasakan dulu. Saya mencoba membayangkan masa-masa yang dialami pengikut Yesus. Mereka juga pasti merasa ketakutan, kuatir, kecewa, marah. Â Ketika gurunya, Sang Yesus disalibkan, wafat, dan dimakamkan. Tidak menerima kenyataan.
Refleksi diri..
Ini juga yang belakangan ini kita rasakan. Ketakutan dengan merebaknya wabah Corona Virus Diseases (Covid-19). Kuatir mengikuti berita di Media, menampilkan angka kematian yang terus bertambah. Gelisah karena terpisah dari orang-orang terkasih, yang jauh dari kita, tidak bisa menjaga secara langsung. Apakah mereka baik-baik saja, apakah makanan mereka cukup, apakah mereka menuruti protokol kesehatan.Â
Kecewa dan marah juga melihat orang-orang yang bertamengkan agama, merasa hidup pasrah saja pada takdir tidak perlu takut dengan Covid-19, tetap keluyuran, senam bersama, berkumpul ramai-ramai, tidak ikut berusaha mencegah.Â