Dalam cengkrama pagi, burung-burung bumi bernyanyi, berdendang ria dalam alam yang bersahaja, meniti detik-detik yang penuh cahaya surgawi. Dalam pada itu, cahaya pagi yang begitu hangat, menembus batas-batas rasa terluar diri manusia, jauh di sana ada pelaut bernyanyi mendendangkan lagu-lagu pujian, bercerita akan ganasnya lautan yang mereka arungi.Â
Jauh di sana, ada nelayan-nelayan yang ikut bernyanyi, berdendang ria mengarungi samudera yang berisikan khazanah yang tidak terhingga, dendang-dendang yang mengisyaratkan kesyukuran para nelayan bahwa begitu banyak ikan yang didapat dalam pelayarannya. Baik pelaut dan nelayan sama-sama merupakan dua potret manusia yang senantiasa mencintai lautnya, lebih tepatnya bumi Nusantara.
Engkau berdiri, di antara milyaran penduduk bumi, menatap tinggi ke angkasa, mencoba menyatukan rasa yang kadang misteri oleh sebahagian orang. Dalam pada itu banyak suara-suara yang memanggilmu, suara yang kadang berisi teguran bahwa engkau begitu berharga di mata semesta, walaupun kadang engkau tidak menyadarinya dan lebih memilih termenung sendiri dalam keanggunanmu.Â
Memang kadang sulit menyatukan emosi, emosi yang terbagi-bagi di antara pecahan kaca kehidupan, engkau berdiri jauh disana, begitu jauh hingga jarak begitu berkuasanya, namun ada benang-benang yang tidak nampak seakan mengikat rasa-rasa itu, rasa yang mengikat antara pribadi-pribadi satu dengan pribadi-pribadi lain.
Bulatnya bumi, dalamnya samudera, hangatnya cahaya mentari dan gelapnya malam, semuanya bergerak dalam bahasannya sendiri, seperti sebuah hukum yang sudah tercipta bukan dari karsa manusia tapi oleh sesuatu yang di luar diri manusia, begitu juga keanggunanmu, dalam diammu tersimpan seribu bahasa yang kadang hanya engkau mengerti sendiri, dalam setiap dekap gerakmu sarat akan makna hidup, bahkan bahasa sendiri tidak mampu memberikan penggambaran yang sempurna akan dirimu.
Engkau bukanlah misteri tapi nyata dalam hidup, berdiri anggun disuatu tempat kehidupan, berdiri anggun menatap mentari yang hangat di pagi hari, berdiri anggun menyaksikan tenggelamnya mentari di ufuk barat bumi, berdiri anggun menatap indahnya bulan di malam hari. Engkau bukanlah bayang-bayang kehidupan tapi sebuah sejati realitas yang hadir dalam setiap penggambaran laku manusia, engkau nyata dalam hidup bukanlah dongeng penuh mitos pengantar tidur anak manusia.
Engaku hadir dalam setiap senyum anak manusia, selalu membelai kehidupan layaknya angin yang selalu memberi kesegaran ditengah teriknya mentari disiang hari, dalam pada itu terbentang kehidupan yang cukup panjang bila ingin dimengerti, selalu menanti dekapan rasa dan pikiran setiap anak manusia termasuk engkau yang tertunduk malu tapi dalam balutan keanggunan.
Masih ada hidup, masih ada cinta, masih ada pengharapan, semua merupakan sendi-sendi estetis hidup manusia, melingkup utuh dalam kepiawaian hidup. Masih ada hari esok, masih ada semangat dan masih ada kepastian akan optimisme diri yang menguat dikala kepercayaan diri mencuat kuat. Engkau sang gadis bukanlah seorang malaikat, bukan pula bidadari syurga, tapi hanyalah anak manusia yang hadir dalam realitas hidup.
Dengarlah bisik-bisik udara, dengarlah bisik-bisik mentari, dengarlah bisik-bisik pohon dan daun yang jatuh, dengarlah bisik-bisik air, dan dengarlah bisik-bisik semesta. Jika engaku mau mendengarkan bisikan  tersebut maka engkau akan mendapati betapa berharga dan anggunnya dirimu di mata manusia dan semesta.
Gorontalo, 3 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H