Sembari mengambil foto bunga teratai di kuil Budha yang terletak di seberang candi Mendut, sayaberkata pada adik, “Nih kamera canggih banget. Masa pas motret terataieh dia keluarin ikon lotus. Tadi pas ambil foto candi mendut eh dia keluarin ikon panorama. Ckckckckck…dia menyesuaikan diri sesuai kebutuhan.”
[caption id="attachment_189438" align="aligncenter" width="470" caption="sudut candi mendut"][/caption]
[caption id="attachment_189466" align="aligncenter" width="472" caption="lotus yang macro"]
Kamera DSLR ini “terpaksa” dibelikarena si Bocah yang kuliah jurnalistik mengikuti kelas Photographi. Itupun menyisakan cerita yang sedikit mengharukan saat saya sadar kalau si Bocah badannya makin kurus, “Kamu kok makin kurus aja. Kalau jam istirahat, jajan yang mengenyangkan lah. Kan kamu kuliah sampai Maghrib gitu.”
Uang sakuku habis, jawab si Bocah. “Hah? Gimana caranya? Kan uang sakunya cukup longgar.”
Aku pake buat nyewa kamera teman kalau ada tugas photographi, Rp.50,000.- sehari.
“Loh kok pake nyewa, kamu kan bisa pake aja kamera digital Bunda.”
Si Bocah kemudian menjelaskan tugas photographinya yang memerlukan kamera DSLR, juga menjelaskan harga DSLR yang cukup mahal. Rupanya dia ga tega sama emaknya sebab uang kuliahnya aja sudah cukup tinggi. Sayapun segera menanyakan ihwal kamera DSLR pada teman-teman yang hobi fotographi termasuk dengan mbak Ary Hana. Beberapa tipe untuk pemula disarankan teman-teman termasuk jenis Nikon D1000, “Tapi pakai kamera tipe ini berarti kamu harus maju mundurmembidik obyek.” Kamera yang aneh, udah mahal eh mesti maju mundur, demikian pikirku.
[caption id="attachment_189458" align="aligncenter" width="509" caption="si Bocah dari panggung ke panggung berburu hadiah"]
Akhirnya suatu siang di suatu toko kamera, bersama si Bocah melihat-lihat beberapa kamera DSLR.Si Bocah menyerahkan pilihan pada saya dan pilihan jatuh pada DSLR keluaran Fuji sebab gambarnya kelihatan paling terang, jangkauan lensanya sampai 30 meter dan harganya paling bersahabat dengan kantong. Kamera dibawa si Bocah ketempat kostnya. Dan kemudian saya lihat iklan department store electronic di koran..kamera itu termasuk item yang diiklankan tapi harganya beda banget, lebih mahal Rp.3 jutaan. Insting saya segera bekerja, “sumthing wrong nih.” Dan adik menjelaskan, “Mungkin kameramu itu barang Black Market mbak. Coba lihat kartu garansinya.” Pas gitu, si Bocah telpon, “Aku ga bisa pakai kameranya. Programnya aneh.” Tambah mencelos nih dada, langsung bersama si Bocah ke service centernya…bujuuug cuman toko mungil di kawasan Ambassador…kesimpulannya 100% BM nih.Petugas di sana menjelaskan bahwa kamera Fuji memang diciptakan otomatis, istilahnya “palaluda – apa yang lu minta gue ada”, ga perlu improvisasi. “Ini memang kamera buat orang-orang yang ogah susah.”……saya mesem-mesem sementara si Bocah cuma manyun-manyun. Sampai di rumah, saya langsung OL buat curcol panik ke teman-teman tapi dasar mereka fotographi maniac…masalah garansi toko mah urusan cemen buat mereka. Lah beli kamera rusak terus didandani sendiri aja pernah. Mereka malah menggoda, “Udah, entar kalau kamera itu jebol. Kamu buang aja ke tempatku, kamu tinggal beli yang baru. “ Entah kenapa saya jadi tenang walaupun tidak berarti saya bisa memperbaiki kamera seperti mereka.
Akhirnya saya penasaran juga untuk memakai kamera DSLR ini dan menikmati kegiatan bidik membidik terutama sewaktu liburan di Jogja lalu. Saat-saat mengabadikan permainan cahaya merupakan hal yang menarik perhatian saya saat ini.
Macam cahaya ciptaan Ilahi ini.
[caption id="attachment_189440" align="aligncenter" width="507" caption="fajar di borobudur"]
Bahkan di atas setumpuk lumpia goreng...cahaya mentari menari indah:
[caption id="attachment_189348" align="aligncenter" width="470" caption="lumpia mbak lien-semarang"]
Ataupun cahaya spot light seperti di sini.
[caption id="attachment_189461" align="aligncenter" width="442" caption="ramayana @ prambanan"]
di dekatnya Hanoman yang merupakan peran paling energik dengan gerakannya yang pethakilan dan muncul dari berbagai penjuru pintu panggung sedang melakukan stretching di antara dua dinding dan somehow saya tak tega mengambil gambarnya. Saya juga bertemu si cantik pemeran Sinta yang sedang leyeh-leyeh, tak menyia-nyiakan kesempatan, saya minta foto bersama. Si mbak cantik langsung berdiri dan berkeras memasang mahkotanya. Perhatikan gambar, dia tak memakai sumping (perhiasan di kuping) karena saya bujuk gitu, "Kasihan mbaknya jadi repot."
Akhirnya dengan mengendap-endap dalam gelap, bisa juga saya masuk ke kelas VIP yang berada tepat di depan panggung dan memberikan keleluasaan mengambil gambar: