Saat mengisi survey bertema Menjelang Ramadan yang diselenggarakan Kompasiana beberapa waktu lalu dan tiba pada pertanyaan mengenai benda apa yang paling diingat saat Ramadan, kok yang muncul di benak saya adalah Sarung.
Memang kebanyakan iklan di televisi atau media online yang muncul saat Ramadan biasanya sirup, mie instan, kue kaleng, vitamin/ suplemen, obat kumur. Karena saya membatasi konsumsi gula serta makanan instan jadi preferensinya tidak ke arah itu. Vitamin rutin dikonsumsi sejak pandemi demikian juga obat kumur karena bisa membasmi kuman.
Atau mungkin karena saya memang suka dengan sarung?
Well memangnya saya sudah memakai sarung sejak lama, bukan hanya sebagai perlengkapan sholat melainkan juga sebagai bagian dari fashion. Sepertinya saya merupakan generasi pertama wanita Indonesia yang memakai jilbab sebagai busana muslim "modern."Â
Memakai tanda kutip karena penutup kepala sudah ada sejak zaman inyiak-inyiak di Sumatera, Nyai di Jawa Timur maupun bulek di Jawa Tengah. Semacam selendang lebar yang dikenakan Ibu Negara Fatmawati.
Nah ketika saya mulai memakai busana muslim itu, dunia fashion muslim rasanya belum ada. Jadi para pemakai busana muslim berkreasi sendiri, serombongan teman lebih memilih gamis lebar berwarna hitam.
Namun yang lain memilih memanjangkan bagian tangan serta bagian bawah blus, menghilangkan jahitan yang membentuk badan. Sesimpel itu.Â
Sedangkan untuk jilbab, kebanyakan menjahitkan bagian luar/ pinggiran kain segi empat yang kemudian cukup dilipat dua jadi segitiga, Dan dikenakan sebagai penutup kepala dengan bagian kain yang menutupi dada.
Namanya juga wanita, pasti tetap ingin tampil stylish walaupun ada pagar-pagar syari'i. Saya mencoba menterjemahkannya melalui desain tunik maupun setelan blus dan rok dari sarung.Â
Yup, corak sarung yang penuh warna dan ornament ditambah adanya tumpal ( bagian tengah ) yang berbeda namun tetap cantik membuat saya jadi kreatif. Di bawah ini  foto berbusana muslim dari sarung 25 tahun lalu yang masih tersimpan.