Pagi itu sepertinya saya memakai baterai energizer secara habis olahraga jalan sekitar 1 km, bukannya pulang eh malah meluncur ke
Puskesmas Tebet yang berjarak 1.7 km. Pukul 07.00 pagi sudah duduk antri untuk konsultasi diabetes bulanan. Sejak pandemi, saya yang sebelumnya berobat jalan di Rumah Sakit ( seperti yang ditulis di sini ) memutuskan untuk berobat di puskesmas saja karena resiko terpapar Covid-19 di RS cukup besar. Keputusan yang tepat karena selama pandemi, orang membatasi diri keluar rumah termasuk ke Puskesmas. Pengunjung puskesmas yang biasanya membludak sebelum pandemi jadi relatif sedikit, termasuk hari itu. Walaupun semua tempat duduk terisi namun ini lebih disebabkan karena tempat duduk diatur sesuai protokol kesehatan, ada tempat duduk kosong dengan silang merah antara satu pasien dengan pasien lain.
Waktu menunggu  cukup lama, karena dokter sangat teliti memberi konsultasi di meja bertirai plastik transparan di tempat parkir,  membuat saya merubah posisi duduk yang tadinya bersender sembari menjulurkan kaki jadi duduk tegak sembari menyilangkan kaki.  Ini menyebabkan jemari kaki kiri menyembul dari balik gamis panjang.  Jadi terheran-heran demi menyadari jemari kaki yang bersih, terutama ibu jari kaki ( jempol ). Melanjutkan keheranan, tangan segera meraba bagian telapak ibu jari dan merasa takjub karena halus padahal biasanya kasar bahkan tebal karena kapalan. Sampai menahan napas saat telapak ibu jari kaki bisa merasakan usapan tangan padahal sebelumnya sudah mati rasa, hingga membuat was-was dan mulai berpikir untuk melakukan terapi kaki khusus penderita diabetes yang ada di RS.Â
Memang kaki terutama dari telapak hingga pergelangan kaki merupakan area yang sensitif bagi penderita diabetes. Aliran darah ke area kaki acapkali mengalami hambatan, akibatnya telapak kaki kapalan bahkan mati rasa. Hingga acapkali kaki tidak merasa sakit saat menginjak benda tajam sampai terluka dan celakanya luka itu tidak terasa hingga luka tersebut menyebabkan infeksi dan borok. Inilah yang menyebabkan sering kali kaki diabetesi diamputasi.
Akhirnya tiba nama dan nomor urut saya dipanggil yang berarti harus menemui jururawat terlebih dulu untuk diperiksa berat badan (BB) dan  tekanan darah (TD). Lagi-lagi terkejut sendiri saat tahu  BB  turun 7 kg sementara tekanan darah dalam posisi normal. Padahal mempertahankan tekanan darah dalam posisi normal itu juga sulit bagi diabetesi, makanya dikatakan penderita diabetes pasti terkena hipertensi sementara penderita hipertensi belum tentu menderita diabetes. Penasaran dengan berbagai perkembangan fisik tak biasa jadi  selain meminta obat bulanan, saya juga minta pengantar untuk pemeriksaan laboratorium. Karena belum makan apapun sepagian itu jadi langsung meluncur ke laboratorium.  Hasil lab menunjukkan kadar gula darah puasa ternyata berada pada angka 98 sementara pasca buka puasa 200an itupun karena saya berbuka puasa dengan 1 buah salak yang ada di tas belanjaan. Sengaja memilih buah salak selain menghindari buka masker juga untuk menguji kadar gula salak. Sebab founder dari DEBM ( diet enak bahagia mengenyangkan) mengatakan  kadar gula buah salak tinggi sementara berbagai informasi dari situs berita online berkata sebaliknya. Dari fakta tersebut, akhirnya saya jadi membatasi konsumsi salak.Â
Bagaimanapun kadar gula darah 98 merupakan prestasi tersendiri karena sepanjang 15 tahun sejak saya mulai rutin menjalankan MCU ( Medical Check Up ), belum pernah kadar gula sampai di bawah 100.
Dan ini terjadinya saat saya baru 2 minggu recover dari Covid-19. Alih-alih meninggal seperti yang terjadi pada kebanyakan penyandang komorbid lain yang terpapar Covid-19, komorbid saya tampaknya malah mati suri selama menderita Covid-19. Komorbiditas sendiri adalah kondisi di mana seseorang menderita dua penyakit atau lebih pada saat yang bersamaan. Penyakit tersebut umumnya bersifat kronis atau menahun. Istilah ini selalu muncul ketika membahas penyakit Covid-19 karena penyandang komorbid lebih berisiko menderita gejala parah apabila terinfeksi virus Corona. Dan menurut keterangan yang disampaikan wakitl ketua PB IDI, secara global angka kematian karena Covid-19 didominasi para penyandang komorbid terutama diabetes.
Terus terang saya banyak kehilangan teman-teman terbaik akibat mereka menyandang komorbid saat terpapar Covid-19. Untungnya saya malah tidak ingat sama sekali menderita komorbid saat terpapar Covid-19 sebab sibuk memikirkan nenek 77 tahun di rumah yang juga terpapar Covid-19 padahal dia menderita hipertensi.
Inilah Obat Covid-19
Saya jadi takjub dan berpikir kalau hal ini bukan mukjizat sebab siapalah saya ini dibanding dengan orang-orang baik yang sudah berpulang akibat Covid-19. Pasti ada sebab yang mengakibatkan kondisi ini, lantas me-review kembali kebiasaan-kebiasaan selama ini yang mungkin telah jadi tabungan kesehatan hingga bisa menyelamatkan diri dari kematian akibat Covid-19 dan menemukan hal menarik ini:
Konsumsi buah secara rutinÂ