“Mbak nih ada garam, taburin aja di luar rumah ya,” katanya sembari mengulurkan bungkusan kertas kecil.
“Buat apa Pak?,” gue nanya.
“Buat ngusir penunggu-penunggu di rumah, kan rumah mbak luas gitu,” katanya sembari sekali lagi dia nunjukin kalau tahu kondisi rumah gue.
Ya sudah diterima tuh garam dan pas sampai di rumah langsung gue banting=banting seperti ngebanting petasan dengan maksud biar mirip seperti di film The Witches od East End di luar jendela depan dan belakang, terus terang gue penasaran mau buktiin omongan orang itu.
Paginya tante yang tinggal di atas ( rumah gue berbentuk flat dimana atas dan bawah penghuninya keluarga yang beda) manggil-manggil dari atas.
“Mbak – mbak, semalam lihat penampakan gak?” teriaknya.
“Penampakan apa tante,” gue nanya.
“Penampakan kuntilanak pakai baju panjang putih, rambutnya panjang. Melayang-layang di atas pohon mangga halaman rumah mbak.” Ceritanya.
“Engga lihat tante. Terus semalam sempat bertatap muka dengan kuntilanak?,” Saya nanya.
‘Duh amit-amit jangan sampai mbak,” kata si tante.
Gue cekikikan cerita ke mbak Preh soal garam pengusir setan. Pas ke kantor eh si bapak datang lagi nanyain, “Gimana mbak garamnya dah bereaksi.”